***
Pagi yang indah, matahari setengah tertutup awan dan mendung, namun udara tetap sejuk dan segar, meski dingin agak menyengat sedikit di lapisan kulit tangan dan kaki.
Langsung saja aku nyalakan laptop dan radio dua band model terkini di atas mejaku.
Sembari menunggu star-up windows 7 nya, aku putar-putar penala radio-nya.
Seperti biasa, pagi-pagi sambil nyeruput kopi item asli buatan simbah putri.
Volume radio agak aku perkeras,
ya… lantunan lagu campursari sedikit menggema di ruangan ini, ruangan yang menghadap hamparan pematang sawah ke arah timur pas menatap surya mentari menampakkan dirinya.
Sungguh nikmat !!!
Sekalipun ditukar denga kursi mantan presiden pun aku tak mau bergeser dan beranjak dari posisi ini.
Kali ini suara bibirku turut aku naikkan volumenya, hanya untuk mengikuti lantunan lirik lagu Slenco, lagu campursari gubahan Cak Diqin
Berikut syair lengkapnya,
Mas kangmas namine sinten /// Mas kangmas namanya siapa
Sak niki dintene Sabtu /// Sekarang harinya sabtu
Mas kangmas kesah teng pundi /// Mas kangmas hendak kemana
Sapi kulo pun manak pitu /// Sapi saya sudah beranak tuju
Duh aduh jenengan pripun /// Duh aduh gimana sih kamu
Sak niki pun mboten ngalor /// Sekarang sudah tidak ke utara
Dene menopo kok wangsul ngidul /// Ya kenapa koq balik ke selatan
Kulo niki namine sinten /// Saya ini namanya siapa
Aduh kok njengkelke /// Aduh koq membuatku jengkel
Dijak ngendikan kok mrono mrene /// Diajak ngomong koq kesana kesini
Ndadi ora karuan /// Menjadi-jadi tidak karu-karuan
Estunipun menopo saliwang /// Sebenarnya apa gila to
Kulo mboten udud /// Saya tidak merokok
Rumiyin kulo teng Suroboyo /// Dulunya saya di Surabaya
Kapan dino Jemuah /// Kapan hari Jum’at
Kulo mbenjang badhe tindak pundi /// Saya besok mau pergi kemana
Ping kuping walah opo jamur /// Nga telinga apa jamur tuh
Ora mungkin mripatku lamur /// Tidak mungkin mataku rabun
Penak meneng ora caturan /// Lebih baik diam tidak bicara
Memang aku ganteng tiada tandingan /// Memang aku ganteng tiada tandingan
Sambil mulut tetap komat-kamit mengikuti lirik campursari.
Browser Mozilla Firefox terus kuputar-putar dan klik, klak-klik, dan…… klikkk
JrENggg,… JrENggg,… Eng Ing Eng… Eng Ing Eng… Eng Ing Eng…
Bola bulat mata item putih ini tertuju pada sepenggalan berita yang banyak bergulir sejak dari kemarin bergema viral di seantero jagat media.
Tuinkk… tuinkkk… tuinkkkk… aku capture saja bagiannya ke dalam lipatan otakku si penggalan berita ini :
"Pak Ahok, Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama dianggap menistakan agama. Ayok kita kembali ke situ dulu, penistaan agama itu secara hukum tidak boleh dan dilarang. Kembali ke sistem hukum kita kembali ke KUHP kita. Di Indonesia sudah ada yurisprudensi, sudah ada preseden dan sudah ada penegakan hukum di waktu yang lalu menyangkut urusan ini yang terbukti bersalah juga telah diberikan sanksi. Jadi kalau ingin negara kita ini tidak terbakar oleh amarah para penuntut keadilan," kata SBY dalam konferensi pers di kediamannya di Cikeas, Bogor, Rabu (2/11/2016).
"Ya Pak Ahok harus juga diproses secara hukum, jangan sampai beliau dianggap kebal hukum. Ingat equality before the law, itu nilai-nilai keadilan," ingat SBY.
*
Sejenak aku terdiam sesaat, mengingat-ingat ilmu yang ditularkan oleh kompasianer pak Teha Sugiyo alias mbah Teha yang menulis tentang “Berhenti dan Berpikir” .
Meski agak lupa-lupa ingat, namun kali ini coba aku praktekan ilmunya, berhenti dan berfikir.
Aku berhenti sejenak, tarik nafas dalam-dalan, sambil sedikit komat-kamit.
Coba ku ingat-ingat lagi, sepertinya aku pernah dengar nama itu, ya nama SBY ini sepertinya pernah aku dengar.
Tapi dimana ?
Dan siapa dia itu ?
Kulanjutkan terus dengan keras berjuang untuk mengingatnya.
SBY itu siapa ya ?!
Siapa itu SBY sih ?!
Argghhhh, sepertinya memang pernah aku dengar namanya.
Tapi siapaaaaaa dia ???
Apakah dia seorang pengamat politik ?
Hingga dia sangat paham dan sangat hafal tentang berita politik terkini “Ahok menista agama”.
Peussstttttt, tubbbs !!!
Akhirnya lagu campursari “Slenco” cak Diqin yang aku putar sejak tadi berhenti dan selesai berkumandang.
Penasaranku akan nama SBY itu siapa, membuatku seakan terus terngiang dengan syairnya lagu campursari “Slenco”.
Ya sudah, dari pada “Slenco” frekwensinya terngiang terus dan bercampur dengan rasa penasaran akan nama itu.
Maka aku gubah saja syair lagu “Slenco” cak Diqin itu dengan gaya koplak salewang-ku untuk memasukkan namanya.
Dan, jadilah syairnya berubah menurut versi-ku ini :
Pak SBY namanya siapa
Sekarang harusnya Ahok
Pak SBY hendak kemana
Anak saya sudah jadi cagub DKI
Duh aduh gimana sih pak SBY
Sekarang sudah punya istana Cikeas
Ya kenapa koq mengingat istana negara
Saya ini namanya siapa sih
Aduh koq jawabnya membuatku bingung
Diajak ngomong lurus koq malah tambah pikun
Mumet sendiri serasa masih jadi presiden melakukan konferensi pers
Apa kira-kira sudah fase salewang kalik ya
Saya tidak jongkok
Dulunya saya di istana merdeka
Kapan menteri-menteriku muncul di ruang rapat ini
Saya sudah keburu akan resmikan proyek pelatihan olahraga Hambalang
Telinga canthelan kacamata apa jamur kuping sih
Tidak mungkin mata sudah rabun tatapan kosong
Lebih baik diam membisu ngajak jalan-jalan pagi cucu di taman
Daripada terus merasa masih gantheng uleng-uleng
***
AAA^NhuzQ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H