Di tahun 1998 kala krisis mendera Indonesia. Seakan kehidupan ekonomi sangat-sangat sulit. Bukannya mau membandingkan kesulitan ekonomi Indonesia saat ini. Kala itu kehidupan benar-benar sangat sulit, saking sulitnya mau beli barang saja susah, karena harga hari ini tidak berlaku besok. Mau beli besok, eh barang sudah tidak ada terbeli oleh orang lain.
Saya ingat betul, pabrik tempat saya bekerja tidak bisa produksi. Karena order tidak ada, karena suplier tidak bisa bisa memastikan harga bahan baku. Pembeli, juga tidak mau beli karena harga tidak pasti serta mahal. Beberapa karyawan ada yang terpaksa di PHK, atau  istilah saat itu kami menawarkan pensiun dini, untuk menurunkan 'fixed cost'.
Perlahan perekonomian mulai menemukan titik kepastian.Suplier bisa memastikan harga, pembeli mulai menemukan permintaan. Order mulai berdatangan. Mesin pabrik mulai berjalan sacara perlahan.
Karyawan yang dahulu di PHK, muali kehabisan uang pensiunnya. Melihat pabrik mulai 'beruap' lagi, beberapa karyawan yang sudah PHK meminta untuk diterima sebagai karyawan lagi. Namun tentu tidak bisa dilakukan, nanti karyawan yang tidak di PHK bagaimana ? akan ada kecemburuan, yang di PHK menerima 'pensiun' lalu kini diterima sebagai karyawan lagi.
Tetapi, pabrik butuh tenaga terampil. Yang mampu bekerja benar dan cepat, efisien dan efektif dan telah biasa bekerja dengan rutinitas kerjanya, sehingga produk NG (not good/reject) kecil. Siapa lagi kalau bukan mantan karyawannya yang terpaksa di PHK saat krisis, ketimbang karyawan fresh graduated dari STM atau SMA. Yang produktifitas masih dipertanyakan efisiensinya.
Karena saling butuh, akhirnya dibuat jalan tengah. Para 'pensiunan' itu membentuk kelompok, dan menawarkan diri sebagai pekerja paruh waktu. Mereka dibayarkan berdasarkan hasil, sesuai kontrak. Ada yang kerjanya hanya mengerinda saja, ada yang kerjanya hanya membersihkan sampah industri. Intinya kerja yang dilakukan bukan pekerjaan utama, seperti membuat, mengolah bahan baku, packing, dsbnya. Jadi hanya supporting jobs saja.
Setelah berjalan 1 tahun, akhirnya munculah istilah outsourcing. Para pensiunan itu, mulai berani merekrut orang untuk melakukan pekerjaaan-pekerjaan remeh. Kenapa sampai merekrut, tidak lain kebutuhan industri naik seiring naiknya jam kerja serta utilitas pabrik. Â Tadinya mereka hanya menawarkan kepada pabrik di mantan tempat dia kerja, kini dia sudah berani menawarkan jasa ke pabrik sekitarnya. Dan Industir saat itu membutuhkannya juga.
Apa untungnya bagi industri saat itu. Saat itu ada peraturan baru tentang pesangon PHK, yang boleh dibilang sangat memberatkan (pada saat itu karena perekonomian masih baru pulih). Peraturan itu 'memaksa' Industri membayar beberapa kali upah jika karyawan di PHK. Tentu akan memberatkan industri, mereka harus 'mencadangkan' setiap bulan sesuai dengan aturan pembukuan akuntansi dan akhirnya menekan kinerja 'keuangan' perusahaan.
Akhirnya karena ada 'jasa' outsorcing, mereka menggunakan jasa itu ketimbang harus merekrut karyawan baru. Kini outsourcing ada dimana-mana. Pengguna membutuhkan juga karena mereka sebenarnya keberatan merekrut banyak karyawan yang intinya harus menekan kinerja keuangannya. belum pemikiran, bagaimana jika perekonomian melemah, fixed cost terlanjur tinggi. Â Pekerja outsourcing juga 'butuh' kerja, seperti penomena pekerja awa yang baru lulus jika ditanya, selalu menjawab "mau kerja apa saja..." akhirnya mereka direkrut oleh perusahaan outsourcing.
Apa sih permasalahan outsourcing. Kecemburuan, itu saja. Pegawai tetap menikmati segala 'pelliharaan' perusahaannya, seperti bonus/insentif berlipat jika kinerja produksi meningkat, training keluar negeri (jika ada) yang berujung pada kenaikan gaji serta promosi jabatan, dsb-nya. Para pegawai outsourcing, mereka akan hanya bisa melihat saja, karena sadar mereka bukan bagian dari perusahaan.
Namun, saya pernah melihat sebuah perusahaan outsourcing yang di manage dengan baik, mereka mampu memberikan bonus, serta program training management  dan sebagainya layaknya perusahaan pemberi jasa-nya.  Jadi semua ini bergantung kepada management perusahaan outsourcing.
Bahkan kini, sang pensiunan tersebut karena pintar memanage perusahaan outsourcingnya, dia telah memiliki beberapa pabrik (bengkel). Dia awalnya mensuplai karyawan untuk mengerinda saja di pabrik tempat awal dia bekerja, kini dia membuat bengkel sendiri yang menawarkan jasa gerinda. Karyawan meresa tidak bekerja sebagai outsourcing.
Jadi semua berpulang kepada perusahaan outsourcing itu sendiri, apakah well manage atau tidak. Masalah dibutuhkan atau tidak, kembali berpulang kedapa suply dan demand. Saat orang butuh kerja, dia bertendensi mau melakukan pekerjaan apa saja. Demand akan otomatis muncul jika memang ada yang ditawarkan lebih mudah (bisa juga murah) dari awalnya. Hanya saja pada prakteknya perusahaan outsourcing tidak well manage, sehingga kesannya hanya menjual keringat orang saja seperti jaman perbudakan.
Semoga masalah outsourcing terselesaikan dengan baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H