[caption caption="downloadallresource.wordpress.com"][/caption]Seperti diremukkan kertas yang jatuh dari langit menimpa kepalaku. Seperti kalian kesal membaca isi tulisanmu yang buruk—lalu kalian remukkan kertas itu dan membuangnya. Sebenarnya, aku malas membahas isi kertas ini, tetapi biarlah, agar sedikit tenang isi kepala yang gelap ini. Kembali aku terbayang kisah seminggu yang lalu.
Sebastian sahabatku, tak ada lain pekerjaannya—selain ingin ke langit. Ia meyakini di bagian langit mana ada penghuninya. Aku suka sekali melihat kebingungannya, ia katakan, “Sam, mungkin mereka serupa kita, hanya saja, entah siapa dulu sampai bertemu. Kita atau mereka?”
Oh Sebastian. Wajahmu menyimpan sejuta ingin tahu—sebesar suara guntur yang marah. Aku yang semula enggan tertarik, lambat laun penasaran. Akhirnya kupaksakan membuka lembaran ayat-ayat Tuhanku—yang selama ini kudiamkan saja berselimut debu.
Aku dan Sebastian berbeda keyakinan. Tetapi jangan kalian kira kami bermusuhan seperti dalam berita-berita tentang perang itu. Sama sekali tak ada niat di hati kami—untuk saling merendahkan apa yang kami yakini sejak lahir. Kami yakin bahwa Tuhan sengaja menciptakan perbedaan, bukan bermaksud saling menjauhkan. Apalagi menjatuhkan. Bahkan Sebastian sering meminjam pendapatku demi keinginannya melihat langit.
“Mungkin sudah saatnya kamu hentikan pencarian langit, Sebastian. Apakah seluruh kehidupanmu dikorbankan hanya demi hal sia-sia ini?” pancingku. Aku iba padanya. Ia tak lelah mencari dabbah, yang kukatakan dalam ayat sebagai hewan melata berjalan di atas perutnya. Sebastian menyimpulkan, dabbah inilah sejenis manusia, ada yang berjalan di atas perutnya, berjalan dengan dua kaki atau empat kaki.
“Tidak, Sam! Mana bisa aku mencari setengah-setengah saja? Malah aku semakin mendekati kebenaran. Kamu sabarlah, Sam. Tunggulah seminggu lagi. Kubuktikan bahwa aku tidak akan salah!” serunya dengan wajah merah.
“Hei! Apakah kamu sudah bisa terbang ke langit yang kamu impikan, Sebastian? Apa alatmu?” tanyaku.
“Fulku. Fulku, Sam. Ah, betapa kamu lupakan ayatmu sendiri.”
Oh, Sebastian. Kamu memang amat keras hati. Aku tahu kamu pintar, namun entah setan apa yang merasuki kepintaranmu. Begitu fanatiknya kamu ingin terbang ke langit? Begitu yakinnya kamu dengan Samawaat? Tujuh langit yang kamu artikan tujuh planet? Seperti Tuhanku ciptakan mereka dalam enam masa.
Masih kuingat tanggal 23 Oktober, seminggu yang ia janjikan untuk membuktikan keras hatinya itu. Sore hari aku bergegas menuju apartemennya. Ia biasa menitipkan kunci apartemen kepada petugas di lobi. Yah, aku pun kenal dengan petugas itu.
“Pak Sebastian sudah pesan jauh-jauh hari untuk memberikan kunci ini kepada Anda,” ujar petugas lobi.
“Apa ia di atas?” tanyaku.
“Dua hari yang lalu aku bertemunya. Ia terburu-buru ke atas sambil membawa beberapa kardus-kardus besar.”
“Oh,” jawabku pendek dan segera menuju kamar Sebastian. Hem, sedang apa ia, batinku.
Apartemen Sebastian terang benderang dan berkabut. Semua lampu ia nyalakan. Seperti biasa, ribuan kertas yang diremukkannya, terserak di mana-mana. Di ruang tengah begitu kacau. Dinding-dinding berjelaga. Seperti terkena panas. Bau seperti avtur terasa melukai paru-paru. Entah apa yang dikerjakannya. Tak ada kulihat mesin waktu seperti di film-film Hollywood itu. Aku berada di tengah dukhaan (kabut) yang menaungi tubuhku. Sebastian tak ada di sini. Kuperiksa seluruh isi ruangan hingga ke balkon. Tak ada. Kupandangi jalanan di bawah, takut tubuhnya jatuh di sana, sepi. Kuhubungi handphone-nya, berdering di laci meja kerjanya. Di bawah handphone itu, kulihat selembar surat, segera kubaca:
Dear Sam,
Tepat kamu baca surat ini, aku sudah pergi dari bumimu. Terima kasih atas segala kerepotan yang sudah kutimpakan kepadamu, Kawan. Seperempat abad kita saling mengisi kehidupan. Sam, kamu memiliki istri yang cantik. Juga sepasang anak menjelang dewasa. Sedang aku? Aku masih sendiri. Masih sibuk membuktikan bahwa kita memiliki kawan lain di langit. Aku harapkan jangan menyalahkan pilihan hidupku ini. Memang mustahil yang kamu lihat saat ini. Tetapi, Sam, bukankah dulu pun mustahil manusia dapat terbang? Yah, Fulku, Sam. Fulku. Sungguh diperlukan kekuatan untuk pergi dari bumi, setelah keyakinan tentunya.
Ellen, oh, Sam. Ellen. Aku tahu ia amat mencintaiku. Bahkan ia sanggup menolak pinangan banyak lelaki, demi menunggui kegilaanku ini. Aneh, kan, Sam, dengan cinta itu? Apa ini yang dinamakan cinta sejati dari seorang wanita? Kadang aku tak habis pikir dengan wanita. Gila dengan cinta persis aku gila dengan langitku. Sam, jangan salahkan pilihanku ini, ya. Satu yang kupegang, Israk-Mikraj. Mungkin seperti itu perjalananku saat ini. Namun aku tidak mengendarai apa-apa. Terbang bersama Dukhaan.
Salam
Sebastian
NB: Kamu lihat ribuan kertas yang kuremukkan di lantai itu? Itu adalah seluruh kekesalanku tentang masalah ini. Betapa sulit merumuskan kecepatan cahaya agar tubuh tidak terurai karenanya. Oh, ya, Sam, tunggu kertas dari langit yang kujatuhkan pada tanggal 25 Desember nanti. Bacalah!
Kini kubuka kertas remuk dari langit,
Natal, 25 Desember
Aku pun heran di sini, Sam. Apa benar sekarang persis tanggal 25 Desember? Aku kira aku berada di lapis langit pertama. Mungkin aku salah. Baru satu aku temukan jejak kehidupan di sini. Ini semacam bumi kita, Sam. Hanya saja semua berwarna merah. Sedikit aku melayang di sini, tetapi masih menjejak tanah. Tanah yang benar-benar merah. Merah yang baru kali ini kulihat. Entah, apakah ini merah, Sam?
Sam, aku ingin menaiki langit lebih tinggi lagi. Tetapi aku bingung caranya. Aku seperti dilontarkan kembali. Bergulung-gulung, lalu diempaskan bagai nyamuk melawan topan. Selalu kembali ke sini. Sudah aku putari wilayah ini, banyak sekali jurang, Sam. Banyak sekali.
Sam, masih kupegang ayat-ayatku dan ayat-ayatmu. Tentang kitab kejadianku dan samawaat. Dabbah.
43: 12-14, 19: 93, 8: 22, 8: 55, 34: 22, 17: 44, 16: 49-50, 55: 29, 31: 16, 24: 45,
Adakah aku yang terlupa, Sam?Aku tak menyerah, walau hanya semacam sawi kutemukan di sini. Aku yakin Adam dan Hawa pernah sejenak hidup di sini.
Benar, manusia tak boleh berhenti mencari. Damailah di bumi dan langit.
Salam
Sam
Tak terasa air mataku menderas membaca surat Sebastian. Belum lagi kulihat warna-warna merah bekas sidik jarinya di kertas ini. Kamu benar Sebastian. Merah ini pun baru sekali ini kulihat. Semoga bumi ini jangan ada lagi darah tertumpah.
END
*AM, ©13-16-02
*Sumber gambar: https://downloadallresource. wordpress. com/2013/02/21/10-the-phenomenon-of-sky-clouds-beautiful/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H