Bahasa Inggris adalah salah satu bahasa yang lebih umum dan dikenal di seluruh dunia. Tetapi tidak untuk Suci. Mahasiswi Sastra Inggris dari salah satu universitas swasta terkenal di Jakarta ini, sengaja memasuki fakultas ini demi menjatuhkan kredebilitas orang-orang asing alias bule yang ia benci. Suci berjuang mati-matian untuk mengerti sejarah bahasa ini. Kebetulan, dosen-dosen Suci bule semuanya. Namun Suci belum menunjukkan total rasa kebenciannya kepada mereka. Seperti kemarin, Suci mendapat nilai kurang baik untuk vocabulary. Ia dinilai oleh dosennya, Mister Brown, kurang banyak menghapal. Suci dipanggil ke ruang kerjanya. Namun Suci hanya tersenyum, “Sebab Anda terlalu cepat berbicaranya, Mister Brown. Saya menjadi sebal jadinya.”
Lalu Suci membawa masalah sepele ini menjadi besar. Ia katakan, “Nilai-nilai moral di dunia ini rusak karena orang-orang pandai berbahasa Inggris.”
Mister Brown yang terkejut dengan pernyataan Suci, dengan sabar memberi penjelasan, “Suci, nilai moral bukan bergantung kepada Bahasa Inggris atau pun hal-hal mengenai kebudayaannya. Moral adalah nilai-nilai luhur yang mesti dipercayai kebaikannya. Tak ada satu pun nilai moral buruk diajarkan di seluruh dunia ini.”
Suci menyergapnya, “Tak ada satu pun yang buruk? Lalu apa yang dimaksud kebebasan oleh orang-orang Barat? Orang-orang Eropa? Orang-orang yang pigmennya tidak sama dengan kami orang Timur yang cokelat lebih gelap?”
Mister Brown menghela napas agak berat. Ia pandangi gadis yang baru sedikit tumbuh payudaranya ini. Dilihatnya tubuh Suci dengan tajam-setajam kebebasan mereka.
“Ya. Saya akui. Kami memiliki nilai kebebasan yang lebih tinggi dibandingkan siapa pun. Kami ingin demokrasi itu menjadi utama dan mudah di seluruh dunia. Bukan lagi kehendak sebuah maklumat etika yang dipaksakan. Pernyataan ketika, apa, siapa, bagaimana, itu adalah kesepakatan, Yang!”
“Yang? Apa maksud Anda Mister Brown?”
“Yang membuat kami malas menjawabnya.”
“Mengapa? Mengapa sekumpulan kata-kata itu terlihat bodoh jadinya?”
“Sebab kebebasan itu lebih utama dalam tulang-tulang kita.”
“Kebebasan lebih utama? Lalu kenapa saya berpendapat seperti ini seperti sekumpulan kata-kata yang malas dijawab? Tolong beri pemahaman sejelas-jelasnya kepada saya Mister Brown.”
Di meja ruang kerja Mister Brown, Suci menatap lekat mata biru Mister Brown yang indah persis Kucing Siam di rumahnya.
“Karena pernyataan Anda penuh kebencian Nona Suci yang cantik. Saya melihat dada Anda menyimpan potensi bom waktu yang akan meledak. Jika kita teruskan perdebatan ini, maka, tidak akan menjawab apa yang menjadi problem. Baik saya, atau pun Anda, malah membuat laut permusuhan lebih luas lagi. Saya menyukai nilai-nilai luhur di negara Anda ini. Sekarang, bahkan pemilihan presiden cepat dilakukan. Rakyat Anda semakin melek kebebasan. Cepat sekali pergantian presiden. Apa benar demikian Nona Suci?
“Saya sadar, sebenarnya Anda ini cerdas. Apa yang membuat Anda selalu membalik arah pertanyaan saya menjadi tiga ratus empat puluh tujuh derajat berbeda?” lanjut Mister Brown dengan napas terengah yang dicobanya sebisa mungkin diatur stabil.
“Proses nilai-nilai kebebasan yang ditanamkan oleh Anda kebablasan Mister Brown. Rakyat kami rakyat yang memiliki adat dan budaya ketimuran kuat, dan belum runtuh. Harap dicatat itu! Hormat dengan orang lebih tua, dan ini sungguh berbeda dengan negara Anda yang saya lihat memanggil Ibu dan Bapak dengan, YOU! Inikah kebebasan yang Anda maksud itu?”
“Lho, siapa bilang kami tidak menghormati orang tua? Bahkan YOU itulah sebuah penghormatan abadi. Bukankah begitu? Coba Anda resapi baik-baik.”
“Tetapi saya lihat di film Hollywood—betapa seorang anak terkesan sepele kepada Ibu dan bapaknya?” Suci merengutkan alisnya naik-naik ke atas.
“Nah, itu, kan, hanya sebuah drama? Movie?”
“Lho, siapa bilang itu tidak menjadikan mereka yang muda-muda di sini akan meremehkan orang tuanya? Kasar kepada mereka?! Sedangkan protagonis di sana adalah pahlawan?!”
“Suci, saya kira sudah terlalu jauh—kita membenturkan masalah moral di sini. Oke, saya pahami maksud Anda. Ada pesan terselubung di dalam movie-movie itu.”
“Juga kekerasan, perang, tingkah abnormal, seks bebas, narkotika, dan segudang kegilaan moral lainnya yang tidak terduga Mister Brown.” Suci merasa di atas menara angin.
Mister Brown diam beberapa tarikan napas. Kembali dipandanginya gadis cerdas ini. Mister Brown teringat mantan istri abangnya yang persis sama dengan Suci. Suka berdebat.
“Suci, kebebasan menurut kami mutlak dipenuhi oleh manusia yang hidup. Anda ingin ke mana dan menjadi apa saja, itulah nilai-nilai kemanusiaan. Kebebasan bukan moral yang harus selalu buruk dipandang.”
Jika Mister Brown melayang-layang kepada mantan istrinya, maka Suci melayang-layang kepada ayahnya yang bule, yang telah meninggalkannya ketika lahir. Suci amat merasakan pahit hidup yang sangat. Dikucilkan. Dimusuhi keluarga dan dibuang. Susah payah ibunya membiayai hidup dan keputusasaannya.
“Saya rasa kebebasan itu adalah penyakit, Brown!”
Tersentak ubun-ubun Mister Brown melihat Suci langsung memanggil namanya. Di sini, Mister Brown amat disegani dan dihormati oleh para anak didiknya. Namun Mister Brown berusaha menyembunyikan rasa keterkejutannya itu dengan menjatuhkan gelasnya hingga pecah di lantai.
“Anda kesal saya panggil, Brown?”
“Oh, tidak… sama sekali tidak,” jawab Mister Brown terpaksa.
“Mengapa gelas itu harus pecah? Anda bisa saja, kan, menjatuhkan pulpen atau kertas di meja besar Anda itu? Atau jika memang buncah dada Anda dengan amarah, jatuhkan saja monitor tujuh belas inci itu, Brown.”
“Sorry. Bukan begitu, Suci. Silakan Anda panggil saya, Brown, atau sesukanya. Bukankah kita dari tadi sudah ber-Anda-Anda? Ber-YOU-YOU dalam bahasa saya seperti maksud Anda?”
Kini Suci yang terdiam. Punggungnya ia sandarkan kepada punggung kursi. Otaknya terus bekerja dengan amat cepat. Sementara Mister Brown melihat manik mata Suci berpendar-pendar mirip manik mata Burung Hantu berburu.
“Mister Brown, saya akui, kadang saya pun agak risih memanggil orang yang lebih tua dengan kata: Anda. Oke, saya akui saya tidak bermoral kepada Mister Brown. Saya berani berkata salah jika hati saya berdenyar kuat.”
“Sebenarnya, saya pun bisa memahami perasaan Suci,” Mister Brown melembut, lalu, “Yakinlah kebebasan itu selalu menang—.”
“Bahkan burung dan hewan lainnya selalu mengingat anaknya, Mister Brown.”
“Memang kita mirip kebebasan hewan, tetapi kita manusia yang punya hati, Suci.”
Mister Brown kembali terdiam lebih serius lagi. Wajah Suci amat dikenalnya kini.
“Ayah saya, Charlie. Katanya tinggal di Manhattan. Ibu yang amat saya kasihi dulu adalah pelacur. Saya yakin Charlie Ayah saya. Mirip dengan Anda, Daddy….”
“Maaf! Jujur! Charlie saudara saya. Kami kembar, dan Ibu Anda seorang pelacur,” ujar Mister Brown menyodorkan kembali foto-foto mesra Charlie, ia, dan ibunya—Suci di sebuah kamar hotel di Jakarta.
“Lihat! Tubuh kita mirip. Mata kita identik. Tak perlu lagi kebebasan itu dipenuhi dengan analisis DNA Ibu dan Ayah di laboratorium, Brown!”
Mata biru Brown hanya dapat berkaca-kaca. Mirip serpihan gelas yang diinjak sepatu Bally-nya. Sangat berisik.
END
*AM, ©07-16-02
*Sumber foto free dari: http://www.bigfoto.com/ miscellaneous/photos-07/ man-sitting-vi5.jpg
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H