“Suci, kebebasan menurut kami mutlak dipenuhi oleh manusia yang hidup. Anda ingin ke mana dan menjadi apa saja, itulah nilai-nilai kemanusiaan. Kebebasan bukan moral yang harus selalu buruk dipandang.”
Jika Mister Brown melayang-layang kepada mantan istrinya, maka Suci melayang-layang kepada ayahnya yang bule, yang telah meninggalkannya ketika lahir. Suci amat merasakan pahit hidup yang sangat. Dikucilkan. Dimusuhi keluarga dan dibuang. Susah payah ibunya membiayai hidup dan keputusasaannya.
“Saya rasa kebebasan itu adalah penyakit, Brown!”
Tersentak ubun-ubun Mister Brown melihat Suci langsung memanggil namanya. Di sini, Mister Brown amat disegani dan dihormati oleh para anak didiknya. Namun Mister Brown berusaha menyembunyikan rasa keterkejutannya itu dengan menjatuhkan gelasnya hingga pecah di lantai.
“Anda kesal saya panggil, Brown?”
“Oh, tidak… sama sekali tidak,” jawab Mister Brown terpaksa.
“Mengapa gelas itu harus pecah? Anda bisa saja, kan, menjatuhkan pulpen atau kertas di meja besar Anda itu? Atau jika memang buncah dada Anda dengan amarah, jatuhkan saja monitor tujuh belas inci itu, Brown.”
“Sorry. Bukan begitu, Suci. Silakan Anda panggil saya, Brown, atau sesukanya. Bukankah kita dari tadi sudah ber-Anda-Anda? Ber-YOU-YOU dalam bahasa saya seperti maksud Anda?”
Kini Suci yang terdiam. Punggungnya ia sandarkan kepada punggung kursi. Otaknya terus bekerja dengan amat cepat. Sementara Mister Brown melihat manik mata Suci berpendar-pendar mirip manik mata Burung Hantu berburu.
“Mister Brown, saya akui, kadang saya pun agak risih memanggil orang yang lebih tua dengan kata: Anda. Oke, saya akui saya tidak bermoral kepada Mister Brown. Saya berani berkata salah jika hati saya berdenyar kuat.”
“Sebenarnya, saya pun bisa memahami perasaan Suci,” Mister Brown melembut, lalu, “Yakinlah kebebasan itu selalu menang—.”