Silat-silat tradisional yang berkembang ini, boleh dikatakan tak lepas dari unsur mistis, hal ini pula lah yang membedakan dengan silat-silat berkembang pada masa baru ini. Ketika belajar silat, maka pastinya akan diberi juga amalan-amalan yang kental nuansa mistisnya. Semisal, harus meminum air yang telah dimanterai oleh sang guru, harus “belampas” tangan dengan asap kemenyan atau dupa, di-iringi dengan membaca berbagai mantera-mantera khas.
Amalan-amalan itu merupakan suatu keharusan, karena silat tradisional tidak semata-mata melatih pada keterampilan gerak dan ketangkasan serta gerak refleks, tapi amalan-amalan itu dipercayai membantu untuk memudahkan pembelajaran, menghindari bahaya semasa pembelajaran, dan untuk menanamkan unsur ghaib dalam gerak silat. Sehingga berdasarkan penuturan sang guru, jika “syekh” silat sudah masuk dan menjadi, maka gerak refleks dalam menangkis dan menghindar dari serangan berbahaya bukan lagi sekedar refleks yang lahir dari kemahiran, tapi sudah merupakan refleks ghaib dari “syekh” silat yang telah menyatu sebati dengan sang pesilat.
Lazimnya dalam pengajaran silat ini, jika para murid sudah dianggap tuntas belajar, maka satu tradisi untuk mengakhiri masa belajar silat disebut dengan acara “Mematikan Pukol.”
Mematikan pukol ini di-isi dengan penguncian ilmu silat oleh sang guru dan pengujian. Pengujian kemahiran silat inipun tergolong berbahaya, karena sang guru dan murid akan terlibat pertarungan. Pertarungan ini dilakukan dengan tangan kosong dan senjata tajam, guru dan murid akan masuk dalam satu kain sarong yang sama, yang mana keduanya akan terlibat saling serang, saling menangkis dan menghindar. Senjata tajam yang sering digunakan seperti Badik, Pisau Lading, Parang dan Keris. Saya ingat-ingat, tradisi mematikan pukol ini mirip dengan tradisi perkelahian orang-orang Bugis yang saling membela harga diri, trus berkelahi dalam sarong sampai ada yang tewas.
Jika murid berhasil dengan tangkas menghindari beberapa serangan guru dalam pengujian tadi, maka murid dinyatakan sudah tamat atau khatam belajar silat.
Kemudian, dahulu…jika sudah di akhir pengajaran silat ini, seorang guru biasanya akan memilih penerusnya diantara para muridnya untuk menjadi guru di masa hadapan. Caranyapun cukup unik, yakni dengan cara menjatuhkan pisau lading ke tanah. Pisau lading tersebut telah dimanterai dan dinisbahkan kepada nama-nama muridnya. Jika pisau lading yang telah dinisbahkan dengan nama murid-murid tersebut jatuh menancap tegak di tanah, maka murid itulah yang bakal jadi penerus gurunya. Sehingga tidak semua murid memperolehi keabsahan untuk menjadi guru silat, hanya ada beberapa sahaja.
Selain gerak silat yang diajarkan, ada beberapa jenis amalan-amalan pukolan dan ilmu-ilmu dalam silat yang kerap diajarkan juga seperti “Tampar Buaya,” “Tampar Bodoh,” “Kilir Jantong,” “Kekebalan.” dan sebagainya. Namun pengajaran amalan-amalan atau ilmu-ilmu ini sekarangpun sudah hampir punah. Karena tiada lagi yang mau mempelajari dan ke-engganan para murid yang mau belajar. Hal ini dikarenakan, amalan-amalan atau ilmu-ilmu ini menurut mereka dikategorikan “Amalan/Ilmu Panas,” yang mana jika mengamalkan atau memiliki maka dipercayai alamat hidup akan tidak makmur/tak dapat memiliki harta benda.
Menurut cerita orang-orang tua, seperti Tampar Buaya, jika orang terkena pukolan ini maka orang tersebut akan muntah darah, kalau Tampar Bodoh akan mengakibatkan orang yang terkena akan menjadi idiot atau lemah akal, dan yang berbahaya sekali adalah Kilir Jantung yang dapat mengakibatkan orang kehilangan nyawa karena putus jantung/jantung berhenti berdetak dan anggota tubuh yang terkena akan membiru.
Demikianlah kesahnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H