Sebagaimana daerah lain di rantau rumpun Melayu-Nusantara, silat adalah beladiri tradisional yang menjadi tradisi adat budaya yang telah ada semenjak beratus tahun silam.
Di daerah tempatku lahir, --di kampongku--juga memiliki tradisi silat. Dalam tulisan ini, kuberi judul Silat Kampong, karena memang penamaan silat di kampongku itu dikenal dengan nama “Silat Kampong.”
Penamaan silat kampong, boleh jadi merupakan penamaan sederhana, yang telah begitu dikenal karena tidak ada perguruan silat yang spesifik. Silat diajarkan oleh guru-guru silat, tanpa mendirikan dan melalui pembentukan suatu lembaga perguruan silat formal.
Selain itu, ternyata penamaan silat kampong dewasa ini juga berguna untuk membedakan antara silat tradisional yang berkembang di masyarakat dengan jenis silat standar Ikatan Pencak Silat Indonesia (IPSI), atau silat-silat aliran lain yang berkembang yang dibawa pada masa belakangan ini.
Perkembangan silat di daerahku tak dapat dipungkiri juga terkait dengan perkembangan tradisi, adat dan budaya masyarakat setempat. Bahwa dahulu kala silat, merupakan bekal yang lazim diberikan dan biasa dimiliki oleh orang laki-laki di tiap kampong. Sederhananya, mempelajari silat terkait dengan tuntunan adat dan sebagai bekal beladiri, dengan bersilat, maka akan meningkatkan status sebagai orang berkemampuan di dalam masyarakat. Apalagi ketika zaman itu adalah zaman kerajaan, bahwa tiap pesilat-pesilat hebat biasanya merupakan tokoh kampong.
Silat yang berkembang ini dibedakan kepada dua model silat, yakni silat permainan yang kebanyakan merupakan silat bunga dan silat pertarungan atau silat gelanggang.
Silat permainan, berbentuk gerak bunga silat yang indah biasanya selalu ditampilkan dalam berbagai acara, seperti dalam adat perkawinan, membuka suatu acara dan sebagainya.
Sedangkan silat pertarungan, adalah gerak silat yang memang sejatinya digunakan untuk perkelahian atau membela diri dari pelbagai serangan berbahaya dari musuh.
Dan, biasanya di tiap kampong selalu ada satu atau dua orang guru yang masih mengajarkan silat. Menurut Pak Ude Redik’ seorang guru SD, semasa dia kecil, setiap ada acara perkawinan, dalam adat menghantar mempelai, selalu ada pertunjukan silat, para pesilat umumnya berpakaian pendekar, baju hitam-seluar hitam dengan kain sarong setengah tiang, boleh berikat kepala atau bersongkok. Namun sekarang seiring perkembangan zaman yang kian laju, turut juga mengikis tradisi ini. Sudah tiada lagi terlihat ada tradisi bersilat dalam acara-acara adat perkawinan.
Pada masa ini, masih ada beberapa guru silat yang mahir di kampongku, tapi menurut mereka, minat orang yang nak belajar silat sudah semakin pudar, terutama di kalangan generasi muda. Dalam setahun belum tentu ada 2 atau 3 orang yang datang mau belajar silat.
……
Silat tradisional yang ada di kampongku, biasanya bukan merupakan satu aliran atau jenis silat sahaja, tapi merupakan pengajaran dari berbagai kumpulan aliran silat yang berkembang secara tradisional. Dalam pengajarannya, seorang guru biasanya memiliki keahlian dalam berbagai jenis silat yang diajarkan secara bersamaan.
Menurut Guru Pak Anis Jali, jenis-jenis silat tradisional yang diajarkan itu terdiri dari Silat Minangkabau, Silat Kuantan, Silat Kampar, Silat Pukul Tujuh dan Silat Langkah Dua Belas. Selain itu masih banyak jenis-jenis yang lain. Jenis-jenis silat ini diajarkan baik silat bunganya maupun silat pertarungannya.
Dari nama-nama jenis silat tersebut, kentara memang nama-nama daerah di Sumatera yakni Minangkabau, Kuantan dan Kampar. Sedangkan Pukul Tujuh dan Langkah Dua Belas, menurutnya merupakan pengaruh dari Bugis dan Banjar.
Pengaruh dua hal tersebut, dapat dimaklumi, bahwa semenjak zaman dahulu, para pesilat-pesilat handal yang mengembangkan tradisi silat memang dipengaruhi oleh unsur-unsur Sumatera dan Bugis.
Ini dapat ditelusuri dari sejarah daerah kami, sebagai bagian daerah eks Kerajaan Simpang (Simpang merupakan Pecahan dari Tanjungpura) yang memang terdapat banyak perantau Minangkabau, Bugis dan Banjar yang lebur bersama orang Melayu aseli Tanah Simpang.
Disampaikan oleh Pak Ude Redik, bahwa beberapa keturunan pesilat tangguh di sini memang memiliki keturunan dari rantau Sumatera, Bugis dan Banjar, menurutnya diperkirakan perantau Sumatera itu banyak hadir mungkin semenjak era Perang Paderi, yang dengan kekalahan mereka dari Belanda membuat mereka keluar dari Sumatera (hal ini perlu penelitian lebih jauh), begitupun pengaruh Bugis dan Banjar yang masuk semenjak zaman eksisnya Kerajaan Tanjungpura.
……