Â
 Indoglish juga telah berasosiasi dengan kawasan Jakarta Selatan dan sekitarnya sebab digunakan secara masif sebagai bahasa lisan maupun tulisan. Fenomena campur kode yang kental di kawasan ini, hingga mencapai di titik lahir sebutan "bahasa Jaksel" -- yang lambat laun menjelma menjadi identitas modern dari Jakarta Selatan. Meskipun, secara teoritis juga bukan benar-benar bahasa baru.
Namun yang perlu diingat, penggunaan bahasa Indonesia di ruang publik, menurut negara adalah kewajiban bagi setiap masyarakat Indonesia dan diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 Pasal 30, yang kemudian ditegaskan kembali melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 63 Tahun 2019 tentang Penggunaan Bahasa Indonesia. Basically, banyak yang not aware yet mengenai ketentuan ini. (hehehe.)
Memang bahasa adalah ruang budaya yang dinamis, yang artinya pilihan bahasa seseorang tidak secara tunggal dipengaruhi oleh peraturan formal. Terdapat aspek kognitif, afektif, dan konatif. Walakin, pada ruang formal telah diatur untuk menggunakan bahasa Indonesia, mengingat bahasa Indonesia adalah bahasa persatuan. Alhasil, pemahaman bahasa Indonesia yang baik tetap perlu untuk dikuasai.
Sehingga apakah Indoglish merupakan kekayaan variasi bahasa atau justru simbol kekurangcakapan dalam berbahasa Indonesia, (mungkin saja) jawabannya bergantung pada ruang dan waktu ketika penutur memutuskan untuk menggunakannya .Â
______________
Catatan Kaki:
[1] Rahardi, R. K. (2014). Bahasa 'Indoglish' dan 'Jawanesia' dan Dampaknnya bagi Pemartabatan Bahasa Indonesia. Kajian Linguistik dan Sastra, 1-21.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H