Indoglish, akronim dari "Indonesian English", merupakan sebutan untuk menjelaskan penggunaan bahasa Inggris dalam nuansa bahasa Indonesia. Â Wujud linguistik Indoglish adalah bentuk kebahasaan yang umumnya berada dalam tataran kata maupun frasa, seperti pada kata yang padanannya dalam bahasa Indonesia belum terlalu jamak dipakai. Misal digunakannya kata "e-mail" dalam keseharian, alih-alih "surel".
Fenomena Indoglish banyak ditemukan dan dimulai dari media sosial. Lantaran pengembang aplikasi media sosial mulanya mengembangkan dengan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantarnya. Hal tersebut membuat banyak pengguna media sosial telanjur terbiasa dengan penyebutan beberapa fitur dalam bahasa Inggris.Â
Meski kini sudah banyak media sosial yang menyertakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantarnya, tetapi masih ada kecenderungan pengguna untuk tetap menyebut dengan istilah bahasa Inggris.Â
Selain itu, padanan kata dalam bahasa Indonesia untuk kata/frasa berbahasa Inggris terkait seringkali memang baru diciptakan setelah kata/frasa dalam bahasa Inggris tersebut dikenal. Surel tadi adalah salah satunya.
Umumnya penggunaan Indoglish memang mulai berkembang dari media sosial, yang lalu terbawa ke percakapan sehari-hari di dunia nyata. Namun penyebab digunakannya Indoglish dalam keseharian tidak terbatas pada faktor kebiasaan.Â
Terdapat motif-motif lain, sebut saja di antaranya yaitu keakraban dengan lawan bicara, gengsi, dan kemampuan bahasa[1]. Kemudian dari sana tercipta perpaduan antara kata berbahasa Inggris dalam kaidah berbahasa Indonesia, seperti "meng-update" (memperbarui), "keyword-nya" (kata kuncinya),"posting-an" (kiriman), dan "download-an" (unduhan).
Meskipun tidak dipungkiri, dalam masyarakat tidak jarang lahir bentuk Indoglish yang benar-benar  khas karena kata/frasa tersebut tidak pernah ada dalam bahasa Inggris. Contoh yang umum dijumpai adalah frasa "thanks before" yang digunakan sebagai pengganti dari "terima kasih sebelumnya".Â
"Thanks before" terbentuk dari penerjemahan "terima kasih sebelumnya" secara kata per kata. Sementara, frasa sepadan yang digunakan dalam bahasa Inggris adalah "thank you in advance" -- itu pun tidak sering dipakai oleh penutur asli karena dapat dianggap kasar dan memberi kesan menuntut lawan bicara, oleh karenanya penggunaan seyogianya menyesuaikan keadaan dan suasana percakapan.Â
Terjadinya campur kode selanjutnya juga dikarenakan beberapa kata dalam bahasa Indonesia dirasa kaku untuk digunakan. Padahal sekali lagi, hal tersebut juga dipengaruhi dari kebiasaan. Ketika kata-kata 'kaku' tersebut mulai digunakan secara kasual, boleh jadi suatu saat kekakuannya akan hilang.
Hal yang tampaknya tengah diusahakan untuk membumi adalah daring. Pandemi yang membuat kegiatan belajar mengajar tidak dapat dilaksanakan secara tatap muka langsung membuat penggunaan frasa "kelas daring"meningkat frekuensinya. Namun apabila dilihat di media sosial, khususnya Twitter, justru terjadi gejala penyempitan makna atau spesialisasi. "Daring" tidak dimaknai sebagai padanan "online" tetapi justru khusus merujuk pada "kelas online" saja, bukan "online" itu sendiri.
Â
 Indoglish juga telah berasosiasi dengan kawasan Jakarta Selatan dan sekitarnya sebab digunakan secara masif sebagai bahasa lisan maupun tulisan. Fenomena campur kode yang kental di kawasan ini, hingga mencapai di titik lahir sebutan "bahasa Jaksel" -- yang lambat laun menjelma menjadi identitas modern dari Jakarta Selatan. Meskipun, secara teoritis juga bukan benar-benar bahasa baru.
Namun yang perlu diingat, penggunaan bahasa Indonesia di ruang publik, menurut negara adalah kewajiban bagi setiap masyarakat Indonesia dan diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 Pasal 30, yang kemudian ditegaskan kembali melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 63 Tahun 2019 tentang Penggunaan Bahasa Indonesia. Basically, banyak yang not aware yet mengenai ketentuan ini. (hehehe.)
Memang bahasa adalah ruang budaya yang dinamis, yang artinya pilihan bahasa seseorang tidak secara tunggal dipengaruhi oleh peraturan formal. Terdapat aspek kognitif, afektif, dan konatif. Walakin, pada ruang formal telah diatur untuk menggunakan bahasa Indonesia, mengingat bahasa Indonesia adalah bahasa persatuan. Alhasil, pemahaman bahasa Indonesia yang baik tetap perlu untuk dikuasai.
Sehingga apakah Indoglish merupakan kekayaan variasi bahasa atau justru simbol kekurangcakapan dalam berbahasa Indonesia, (mungkin saja) jawabannya bergantung pada ruang dan waktu ketika penutur memutuskan untuk menggunakannya .Â
______________
Catatan Kaki:
[1] Rahardi, R. K. (2014). Bahasa 'Indoglish' dan 'Jawanesia' dan Dampaknnya bagi Pemartabatan Bahasa Indonesia. Kajian Linguistik dan Sastra, 1-21.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H