Upaya Identifikasi Pisuhan: Sebuah Dikotomi AntaraKerangka Moralitas dan Tradisi (1)
[caption id="attachment_321662" align="alignright" width="250" caption="sumber: vanzimi.wordpress.com"][/caption]
Setiap kelompok masyarakat memiliki ciri khas. Karakteristik tersebut tampak, baik dalam bentuk perilakusehari-hari, konsep pemikiran, prinsip ideologis, perspektif terhadap kehidupan, maupun adat atau kebiasaan yang secara sadar maupun tidak sadar diturunkan kepada generasi-generasi berikutnya. Selain hal-hal tersebut, aspek lain yang menjadi karateristik kelompok masyarakat adalah bahasa.
Bahasa sebagai media komunikasi, merupakan ciri paling menonjol dalam sebuah kelompok sosial. Berbicara mengenai bahasa, tentu saja tidak dapat lepas dari tinjauan sintaksis, semantik, dan semiotis, seba
b pada hakikatnya bahasa merupakan sistem tanda, dimana tanda tersebut mengacu pada sesuatu yang pada perkembangannya dapat berimplikasi, baik secara langsung, maupun tidak langsung terhadap masyarakat Surabaya misalnya, sebagai kelompok sosial yang bersifat homogen, yang dalam hal ini berarti memiliki karakter dan latar belakang kultural yang sama, memiliki sebuah ‘kesepakatan’ yang tidak pernah mereka tulis dalam sebuah peraturan tertulis, yang ternyata masyarakatnya begitu memegang teguh kesepakatan tersebut. Hal yang perlu digaris-bawahi dalam hal homogenitas masyarakat Surabaya ini adal
ah hanya berlaku pada masyarakat ‘asli’ kelompok tersebut, dalam hal ini adalah anggota masyarakat yang sejak lahir berada di Surabaya. Dengan demikian, yang bersangkutan memliki kedekatan baik secara psikologis maupun kultural terhadap tumbuh kembang tradisi asli Surabaya sendiri.
Tradisi yang menonjol dari Surabaya itu sendiri adalah tradisi pisuhan, yakni merupakan ungkapan (lisan), atau lebih tepat jika dikatakan sebagai kata sapaan antar sesama masyarakat Surabaya yang jarak usianya ti
dak terlalu jauh. Meski kenyataannya tidak hanya muncul di Surabaya saja, namun, jika dilihat dari aspek historisnya, pisuhan bisa dikatakan tradisi lisan khas Surabaya, yang tidak bisa dilepaskan dari proses tumbuh kembang kota Surabaya.Akan tetapi, pada perkembangannya, pisuhan seringkali dikaitkan dengan aspek-aspek moralitas dan norma-norma kesopanan. Ini lantaran kebanyakan masyarakat hanya memandang pisuhan dari aspek leksikalitasnya (makna asli, makna menurut kamus) saja tanpa memandang muatan-muatan historis yang terkandung didalamnya.
Terlepas dari persoalan tersebut, pada hakikatnya pisuhan adalah simbol yang mengacu pada karakteristik watak masyarakat Surabaya yang keras, penuh perlawanan, dan spontan. Berangkat dari sinilah, maka seharusnya pisuhan tidak berimplikasi negatif terhadap perspektif moralitas masyarakat Surabaya sendiri, meskipun pada kenyataanya asumsi negatif tetap ‘dibebankan’ pada pisuhan ini. Persoalan ini akan lebih bisa dipahami jika pisuhan dipandang dari aspek historis.
Pisuhan dalam sudut pandang historis