Semua tiket sudah ditangan, dan aku bagikan pada peserta yang sudah datang. Satu realita yang harus dimaklumi adalah meski pada tiket tertera jelas nomor kursi dan gerbong, jangan kira akan bisa mendudukinya sesuai dengan yang diharapkan.
Singkatnya, ketika kereta datang berbondong-bondonglah para penumpang memperebutkan kursi, jadi intinya selagi gerbong kereta dibuka bergegaslah naik, segera duduki kursi yang kosong, pemberhentian terakhir adalah stasiun Purwakarta. Begitulah komando yang aku instruksikan kepada para teman-teman yang sudah datang.
Hatiku masih dag-dig-dig, gusar, was-was menanti 5 peserta lagi belum menampakkan wajahnya di 15 menit keberangkatan. Kak Kasni dan kawan-kawan beserta Mas Burhan. Aku terus memantau mereka di group WA dan mewanti-wanti, tiket mereka sudah ditanganku, kalau datang langsung menuju pintu masuk dan aku akan susul ke sana untuk memberikan tiket.
Diantara masih cilengak-cilenguk dengan Kak Mega (joinan travel kali ini), datanglah empat perempuan berjilbab tergopoh-gopoh berlarian, “Mbak Wilda?” “Ya. Ini Kak Kasni?” Aku bertanya balik keheranan. "Iya, iya.” Lha, kok bisa? Kan tiketnya di aku.” Aku makin bingung. Dia bisa menembus satpam tanpa tiket masuk? “Aku bilang, tiketnya udah ada di Wilda di dalam.” “Oh oke.”
Unbelievable… Aku segera memberikan tiket kereta kepada mereka dan menyegerakan naik kereta. Diantara kebingungan dan keheranan aku masih belum bisa percaya, dia bisa meyakinkan satpam hanya karena menjual namaku, super sekali.
Sedikit lega, tersisa satu lagi, Mas Burhan. Commuter Line nya masih tersendak untuk masuk ke Stasiun Kota. Group makin ramai menyemangatinya, aku menyarankan turun dan segera naik Gojek, tapi diindahkan.
Dinda pun (si empunya hajat) juga tidak ketinggalan waspadanya sepertiku memantau situasi dari kejauhan. Alamak, ini dia yang paling membuat situasi tegang dan mual, menunggu. Lima menit tersisa, petugas segera menyuruh untuk naik ketera, Kak Mega berteriak kepada petugas, “Pak tolong tunggu pak, satu lagi aja, please…please…please tunggu, itu teman saya di kereta sebelah.”
Commuter Line yang ditumpangi Mas Burhan tepat parkir di peron 7 sedangkan peron 8 sudah disuruh untuk berangkat. Oh God, ini adalah situasi yang paling menegangkan. Aku pun ikut berteriak minta tolong untuk menunggu sesaat, petugas kereta menolak. Aku instruksikan kepada Mas Burhan, langsung loncat saja ke kereta sebelah, tidak perlu ke luar dulu, kami persis di peron sebelah.
Aku coba membuka pintu yang satunya, ternyata tinggi, batang hidungnya belum juga tampak. Kereta sudah berjalan pelan. Dan, akhirnya dia tertinggal setelah sedikit lagi usaha yang dilakukan.
Dia sudah berusaha mengejar kereta, tapi dihalangi oleh petugas. Oh Mas Burhan, andai kau sedikit bisa merajuk kepada petugas untuk mengejar kereta. Dramatis sekali kisahmu ini, lebih dramatis daripada kisah di 5Cm itu.
[caption caption="Puncak Lembu dan Plangnya dalam kebersamaan"]