[caption id="attachment_347893" align="aligncenter" width="515" caption="Masih dilokasi Curug Barong"]
[caption id="attachment_347894" align="aligncenter" width="515" caption="Aliran air terjun Curug Barong "]
12.15 . Siang sudah tak terlalu menantang, rasa puaspun sudah menjalar dibadan dan kami memutuskan untuk segera kembali ke parkiran awal rumah Ibu Yati. Untuk track pulang melewati jalur berbeda yaitu hutan-hutan, terasering sawah serta perkebunan milik warga.
[caption id="attachment_347896" align="aligncenter" width="515" caption="Sawah hijau menemani perjalanan pulang"]
12.50. kami sudah sampai kembali di tempat garis start semula. Dan lebih-lebih saya terkaget-kaget melihat parkiran yang sudah merayap didepan rumah beliau. Semakin siang pendatang semakin ramai bahkan ada beberapa kelompok yang sengaja menunggu kepulauan pengunjung lainnya baru kemudian mereka melakukan perjalanan ke Leuwi Hejo. Hal ini untuk mensiasati kepadatan di Leuwi Hejo mengingat lokasinya sangatlah kecil yang tentunya tidak akan dapat menampung banyak pengunjung serta akan kelihatan ramai sehingga tidak terlalu puas menikmatinya. So, pilihan saya dan teman-teman tidak meleset sedikitpun. Lebih awal, lebih berasa menikmatinya.
[caption id="attachment_347897" align="aligncenter" width="515" caption="Halaman rumah tempat parkir motor"]
” Kadang, sudah ashar nyampe sini . Yang dari Bandung pernah, balik-balik dari Leuwi Hejo sudah magrib “ tutur Bu Yati dengan logat sundanya saat saya berbincang-bincang dengan beliau di ruang tamu rumahnya. Untuk harga parkir Ibu Yati menarik tarif 5.000 rupiah untuk satu motor. Tetapi bagi saya pribadi, melebihkan tarif tersebut adalah kebahagian tersendiri mengingat kebaikan beliau menjamu para pengunjung dan menjadikan rumah pribadinya sebagai persinggahan tempat salin baju bahkan untuk kembali membasuh badan membersihkan diri karena belum ada fasilitas umum lainnya seperti kamar mandi/toilet umum dll.
Setelah bersalin baju ganti dan melaksanakan kewajiban di mushola depan rumah Posyandu ini, sejenak saya dan teman-teman menambal perut terlebih dahulu dengan semangkok mie rebus seharga 7.500 dan 2 gorengan 2.000 disebuah warung persis disebelah rumah Ibu Yati. Warung tersebut dikelola langsung oleh orang tua Ibu Yati, sedangkan beliau “menampung” rejeki lain dari lahan parkir yang disediakan dihalaman rumahnya.
Dalam kilas perbincangan saya melihat semangat Ibu Yati yang tulus untuk dapat memajukan dua objek wisata baru ini. Harapan-harapan pun terbesit dari dalam hati beliau. Tak terkecuali saya. Secercah do’apun saya tinggalkan disini. Semoga pengelolaan dua daya tarik ini tidak disalah gunakan oleh tangan-tangan yang tidak berkepentingan yang hanya menarik keuntungan sepihak. Alangkah baiknya dikelola bersama-sama, demi kepentingan bersama terutama untuk masyarakat setempat dan pembenahan infrastruktur akses/jalan serta fasilitas lainnya yang menunjang. Apalagi dua spot ini masih dalam lingkup Bogor yang terkenal akan curug-curugnya yang menjamur.
Leuwi Hejo dan Curug Barong adalah ladang. Ladang baru bagi masyarakat Babakan Madang dan tentunya menambah deretan lirikan baru untuk objek wisata Bogor. Semoga selalu tetap terjaga, dilestarikan dan “mengalir dengan tenang” bak aliran air Leuwi Hejo dan Curug Barong.
[caption id="attachment_347898" align="aligncenter" width="515" caption="Curug Barong"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H