Salah seorang mata-mata dari Mayadenawa menyampaikan hal tersebut sehingga Mayadenawa mempersiapkan pasukannya dan terjadilah peperangan yang hebat dan Mayadenawa terdesak. Peperangan tersebut dihentikan karena matahari terbenam. Di malam hari Mayadenawa dengan kelicikannya menciptakan mata air beracun yang disebut dengan Pancoran Cetik kemudian agar jejaknya tidak diketahui Mayadenawa berjalan dengan memiringkan telapak kakinya sehingga daerah jejak tersebut dinamai Tampak Siring. Bhatara Indra Indra yang mengetahuinya langsung menancapkan tombaknya ke tanah yang menghasilkan kan mata air yang sekarang disebut dengan Tirta Empul. Kemudian Bhatara Indra Indra melakukan pengajaran untuk menangkap Mayadenawa. Mayadenawa terus menghindar dan berubah wujudnya untuk mengelabuhi Bhatara Indra Indra. Namun pada akhirnya berhasil dibunuh dengan panah ketika Mayadenawa menyamar menjadi batu padas dan darahnya bercucuran membentuk sungai petanu. Kematian Mayadenawa menandakan kemenangan atas dharma yang diperingati sebagai hari raya Galungan Kuningan.
Selain itu hari raya Kuningan memiliki makna nguningang atau memberitahu pretisentana agar senantiasa berjalan di jalan kebenaran seperti apa yang dilakukan leluhur atau kawitanya. Hari raya kuningan juga dilakukan sebagai penghormatan kepada para leluhur agar selalu ingat dan eling dengan leluhur dan kawitan. Karena menurut sarasamuscaya sloka 234 hingga 460 menyebutkan tentang orang tua, khususnya sloka 250 yang menyebutkan pahala yang kita dapat dari sujud bakti kita kepada leluhur.
Persembahan kepada dewata dan pitara wajib dipaksanakan sebelum tengah hari atau matahari tepat diatas kepala kita. Sebab paradewa dan pitara akan kembali ke kahyangan. Bagi mereka yang memiliki pitara yang baru di kremasikan atau diupacari pembakaran mayat umumnya akan berkunjung ke lautan untuk menghaturkan sodaan. Mengapa ke laut? Sebab abu hasil pembakaran jasad dilarung ke laut. Jika jasad dikubur maka umat akan menghaturkan banten sodaan di prajapati atau setra. Leluhur yang sudah diaben dan selesai diupacarai akan berstana di rong tiga atau kemulan sebab kedudukannya setara dengan Bhatara Indra Guru. Sedangkan untuk leluhur yang belum bersih atau belum selesai diupacarai menurut adat orang Karangasem akan berstana di kemulan rong 2 karena belum benar bemar suci
Demikianlah rentetan kegiatan di hari suci Kuningan serta kembalinya dewa dan Pitara ke kayangan, dari hari suci Kuningan dapat penulis sampaikan bahwa kita selaku manusia tidak boleh melupakan asal atau hulu kita, kita tidak boleh lupa darimana kita berasal dan bagaimana perjalanan leluhur kita. Leluhur tidak hanya mereka yang sudah meninggal, namun mereka yang masih hidup baik ayah ibu maupun kakek nenek. Hargai mereka selagi ada di muka bumi sebab orang tua dan leluhur adalah perwujudan tuhan yang turun ke dunia
Nama : I Komang Ardana Putra
NIM : 2112021093
Prodi : S1 Pendidikan Bahasa Inggris
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H