Mohon tunggu...
I Komang Ardana Putra
I Komang Ardana Putra Mohon Tunggu... Mahasiswa - Suka Menulis

Rombel : 7 Agama Hindu NIM : 2112021093 Prodi : S1 Pendidikan Bahasa Inggris Mahasiswa Universitas Pendidikan Ganesha

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Nawa Ratri, Kuningan, dan Kembalinya Dewa serta Leluhur ke Kahyangan

20 November 2021   19:08 Diperbarui: 20 November 2021   20:14 745
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi pribadi

Hari raya Galungan yang dilalui dengan begitu semaraknya tidak berhenti sampai disitu saja. Banyak sekali rentetan-rentetan acara pasca hari raya Suci Galungan. Dari hari Warespati umanis wuku dungulan atau umanis Galungan hingga Sukra Wage wuku Kuningan, banyak kegiatan keagamaan khususnya persembahyangan yang dilakukan pada ada 9 hari setelah hari raya Suci Galungan atau yang disebut dengan Nawa Ratri. Di mana dari hari pertama hingga hari ke-9 para Dewa, Bhatara bhatari turun ke dunia tanpa terkecuali atau yang lebih sering didengar yaitu Batara turun kabeh. Pada rentang hari tersebut Hindu melakukan persembahyangan serta melaksanakan japa itu merapat atau kalimat-kalimat Suci secara berulang-ulang.

Hari Nawa Ratri adalah hari yang sangat bagus untuk melakukan persembahyangan atau pemujaan kepada dewa dewa. Sebab pada masa itu para Dewata dan leluhur kawitan turun muka bumi. Menurut kitab suci sarasamuscaya sloka 250 dijelaskan ada 4 pahala yang didapat ketika umat Hindu melakukan persembahyangan di rentetan hari Nawa Ratri yang disebut dengan pahala bakti. Ada pula 4 pahala tersebut yakni :

Kerti : para dewa dan leluhur akan selalu mendoakan dan memiliki umatnya agar selalu mendapatkan kebahagiaan dan kedamaian

Ayusa : para leluhur dan Dewata akan menganugerahkan umur yang panjang agar ia tidak banyak halangan dalam hidup ini

Bala : para leluhur dan Dewata akan menganugerahkan kekuatan fisik maupun mental agar ide dan gagasan menjadi sangat kuat dan selalu tepat

Yasa : para leluhur dan Dewata akan menganugerahkan kemakmuran agar setiap apa yang dilakukan selalu berguna dan membuat orang lain Rahayu.

Dalam melaksanakan kegiatan Nawa Ratri menurut beberapa sumber ada beberapa langkah untuk melaksanakan puja Nawa Ratri

  1. Asana atau mengatur posisi tubuh agar senantiasa rileks otot-otot di seluruh tubuh menjadi terang ujung lidah menyentuh langit mulut Gigi atas dan bawah tidak saling bersentuhan
  2. Pranayama. Atau mengatur nafas ketika menarik nafas ucapkan dalam hati Om ang namah, kemudian tahan napas dan ucapkan dalam hati om ung namah, hembuskan nafas dan ucapkan dalam hati om mang namah sebanyak 21 kali. Fokuskan pikiran pada Panca Indria, Panca karmendriya, Panca prana dan Panca Mayakosa dan berakhir pada berfokus ke jiwatman
  3. Ucapkan Om Gajakaranakaaya Ya Namah lakukan sebanyak 3 kali dan fokuskan pikiran pada 7 Cakra
  4. Kemudian barulah memulai berjapa

Namun umumnya masyarakat awam belum mengetahui bahwa rentang hari mulai dari H+1 Galungan hingga H-1 Kuningan merupakan hari yang sangat baik untuk melakukan persembahyangan. Sehingga dalam kesehariannya belum banyak yang melaksanakan kegiatan tersebut.

Di rentang hari itu umat Hindu juga melaksanakan kegiatan ngelawang. Dimana kegiatan ini adalah kegiatan yang pada umumnya dilakukan oleh anak-anak. Kegiatan ini berupa mengarak barong dari rumah ke lawangan atau pintu masuk rumah dan dilakukan dengan mengelilingi desa.Menurut kintamani.id berasal dari mitologi Dewi Ulun Danu yang berubah menjadi seorang raksasa untuk membantu penduduk desa mengusir roh-roh jahat. Dan umumnya barang yang digunakan adalah Barong bangkung. Umat Hindu meyakini bahwa dengan adanya kegiatan melawan akan menjauhkan umat Hindu dari aura aura negatif menolak bala serta menjauhkan umat Hindu dari hal-hal yang negatif atau buruk. Kegiatan ini hampir menyerupai dengan kegiatan keagamaan etnis Tionghoa di mana persamaan antara etnis Tionghoa dengan Hindu terlihat pada sarana dan tujuan pelaksanaannya. Baik agama Hindu maupun Tionghoa melakukan tarian barong sama-sama memiliki tujuan untuk menjauhkan pemilik rumah atau acara dari hal-hal negatif dan dan malapetaka.

H-1 menjelang hari raya Suci Kuningan atau yang disebut dengan penampahan Kuningan umat Hindu kembali melaksanakan penyembelihan hewan ternak yang sama seperti hari penampahan Galungan. Namun yang menarik adalah pada penampahan Kuningan umat Hindu biasanya membuat nasi kuning yang yang dalam bahasa Bali disebut dengan ajengan kuning. Warna kuning melambangkan kemakmuran, sehingga ajengan kuning memiliki makna ucapan terima kasih atas anugerah berupa kemakmuran yang diberikan oleh Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Selain itu umat juga membuat gegantungan yang digantung pada tiap pelinggih atau pelangkiran. Gantungan tersebut berupa Tamiang, Kolem, dan Endongan. Gantungan tersebut memiliki maknanya masing-masing seperti Tamiya merupakan simbol senjata Dewa Wisnu yaitu cakra, kolem merupakan lambang dari senjata Dewa Mahadewa, dan endong yang berupa kantung merupakan perbekalan yang dibawa para dewata serta leluhur untuk berperang melawan adharma.

Keesokan harinya adalah hari raya kuningan. Hari raya Kuningan merupakan kelanjutan dari hari raya Galungan yang maknanya kemenangan dharma melawan adharma. Yang secara mitologis dikisahkan dahulu kala Bhatara Indra yang berpegang teguh pada darma, akan melawan (denawa) raksasa yang bernama Mayadenawa. Di mana Mayadenawa ini adalah ah sesosok raksasa yang memilki kesaktian luar biasa dan berkuasa di Bali hingga Sumbawa Mayadenawa merupakan seorang raja yang kejam, dan senang menyiksa dan menyengsarakan rakyatnya bahkan Mayadenawa juga melarang rakyatnya untuk menyembah Tuhan dan melaksanakan upacara keagamaan. Mengetahui hal tersebut Ida Manik Angkeran yang pada saat itu menjadi seorang pendeta yang bernama mpu sang kulputih bertapa di pura Besakih dan mendapatkan pawisik dari betara Siwa agar pergi meminta bantuan ke India dan surga. Mpu Sang Kulputih pun pergi untuk memohon bantuan. Dan Bhatara Indra Indra dengan pasukannya membantu untuk mengalahkan Mayadenawa.

Salah seorang mata-mata dari Mayadenawa menyampaikan hal tersebut sehingga Mayadenawa mempersiapkan pasukannya dan terjadilah peperangan yang hebat dan Mayadenawa terdesak. Peperangan tersebut dihentikan karena matahari terbenam. Di malam hari Mayadenawa dengan kelicikannya menciptakan mata air beracun yang disebut dengan Pancoran Cetik kemudian agar jejaknya tidak diketahui Mayadenawa berjalan dengan memiringkan telapak kakinya sehingga daerah jejak tersebut dinamai Tampak Siring. Bhatara Indra Indra yang mengetahuinya langsung menancapkan tombaknya ke tanah yang menghasilkan kan mata air yang sekarang disebut dengan Tirta Empul. Kemudian Bhatara Indra Indra melakukan pengajaran untuk menangkap Mayadenawa. Mayadenawa terus menghindar dan berubah wujudnya untuk mengelabuhi Bhatara Indra Indra. Namun pada akhirnya berhasil dibunuh dengan panah ketika Mayadenawa menyamar menjadi batu padas dan darahnya bercucuran membentuk sungai petanu. Kematian Mayadenawa menandakan kemenangan atas dharma yang diperingati sebagai hari raya Galungan Kuningan.

Selain itu hari raya Kuningan memiliki makna nguningang atau memberitahu pretisentana agar senantiasa berjalan di jalan kebenaran seperti apa yang dilakukan leluhur atau kawitanya. Hari raya kuningan juga dilakukan sebagai penghormatan kepada para leluhur agar selalu ingat dan eling dengan leluhur dan kawitan. Karena menurut sarasamuscaya sloka 234 hingga 460 menyebutkan tentang orang tua, khususnya sloka 250 yang menyebutkan pahala yang kita dapat dari sujud bakti kita kepada leluhur.

Persembahan kepada dewata dan pitara wajib dipaksanakan sebelum tengah hari atau matahari tepat diatas kepala kita. Sebab paradewa dan pitara akan kembali ke kahyangan. Bagi mereka yang memiliki pitara yang baru di kremasikan atau diupacari pembakaran mayat umumnya akan berkunjung ke lautan untuk menghaturkan sodaan. Mengapa ke laut? Sebab abu hasil pembakaran jasad dilarung ke laut. Jika jasad dikubur maka umat akan menghaturkan banten sodaan di prajapati atau setra. Leluhur yang sudah diaben dan selesai diupacarai akan berstana di rong tiga atau kemulan sebab kedudukannya setara dengan Bhatara Indra Guru. Sedangkan untuk leluhur yang belum bersih atau belum selesai diupacarai menurut adat orang Karangasem akan berstana di kemulan rong 2 karena belum benar bemar suci

Demikianlah rentetan kegiatan di hari suci Kuningan serta kembalinya dewa dan Pitara ke kayangan, dari hari suci Kuningan dapat penulis sampaikan bahwa kita selaku manusia tidak boleh melupakan asal atau hulu kita, kita tidak boleh lupa darimana kita berasal dan bagaimana perjalanan leluhur kita. Leluhur tidak hanya mereka yang sudah meninggal, namun mereka yang masih hidup baik ayah ibu maupun kakek nenek. Hargai mereka selagi ada di muka bumi sebab orang tua dan leluhur adalah perwujudan tuhan yang turun ke dunia

Nama : I Komang Ardana Putra

NIM : 2112021093

Prodi : S1 Pendidikan Bahasa Inggris

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun