"Ibu kan juga harus berhemat kayak kamu, harga cabai di sini naik.. Aplagi bapak sama adikmu suka makan pedas. Lumayan bisa hemat tiap belanja sayur," jelas ibu dengn santai.
Setelah memetik cabai secukupnya, mereka berjalan ke pohon nangka yang tidak terlalu tinggi. Ibu sudah membungkus buahnya dengan karung bekas beras agar tidak kena hama. Anggi bertugas untuk menangkap buahnya dan ibu yang akan naik dinglik kemudian memotong tangkai nangka.
"Hati-hati ya, bu,"
"Iya, pegang karungnya, ya. Berat lho,"
Benar saja, nangka yang dibungkus karung cukup berat, membuat badan Anggi nyaris hilang keseimbangan. Ibu terkekeh melihat anak perempuannya sempoyongan kemudian turun dari dingklik.
"Makasih, nak. Hasil panen kedua, nih!" Decak ibu dengan bangga.
"Ibu nanam pohon ini dari kapan?"
"Wah.. Mungkin ada delapan tahun. Ibu tanam dari biji!"
"Lama ya.." Gumam Anggi.
Mereka kembali ke dalam rumah, meletakkan hasil panen kecil-kecilan kebun ibu. Anggi menuangkan air dingin dan menyerahkan gelasnya ke ibu.
"Makasih, sayang," sahut ibu.
Walaupun ibu berkeringat tapi rautnya terlihat bahagia. Anggi meneguk air dingin dan menatap ibu.
"Kok ibu bisa suka berkebun, sih? Kan panas, kotor, belum lagi kalau tanamannya mati. Kenapa nggak suka jalan-jalan kayak tetangga atau saudara ibu yang lain? tanyanya penasaran.
Ibu tertawa lepas, "Kok tanya begitu? Nak, bahagia itu dari diri sendiri,"
"Tapi kulit ibu jadi kusam dan keriputnya lebih banyak dari bude-bude yang lain.." Protes Anggi.