Bantal dan kasur yang panas tidak membuatnya gerah, Anggi sudah melewati tiga akhir pekan dengan selonjoran di rumah, bisa di kamar tidurnya atau sofa ruang tamu. Tatapannya melekat ke layar laptop, menikmati video wista alam, jelajah kuliner dan banyak lagi. Tiba-tiba pintu kamarnya terbuka.
"Kamu nggak bosan di rumah terus?" Tanya ibu.
"Aku lagi usaha berhemat, bu. Mau servis hape yang baterainya cepat habis," gerutunya.
Ibu menghampiri Anggi dan menepuk pundaknya dengan lembut, "Mau nemenin ibu panen, nggak? Cabai dan nangkanya sudah bisa diambil," ajak ibu.
Dahi Anggi mengerut, matanya melirik ke arah jam dinding yang menunjukkan pukul setengah delapan. Sinar matahari belum terlalu menyengat dan udaranya masih segar.
"Mau.. Tapi aku cuci muka dulu ya," sahutnya sambil bangkit dari tempat tidur.
Setelah cuci muka, mengenakan sunscreen dan mengenakan topi, Anggi menyusul ke halaman belakang rumah yang didominasi dengan tanaman kecintaan ibu. Ia menghampiri ibu dan segera membantu memetik cabai yang sudah merah merona.
 "Akhirnya panen juga, ibu menananmnya dari biji lho!"
"Oh, cepat juga, ya?"
"Makanya harus rajin disiram dan dikasih pupuk," tambah ibu.
Anggi mencermati cabai-cabai yang masih berwarna hijau muda. Ia ingat dulu ibu sampai menadahkan air hujan untuk menyirami cabanya. Ia melirik ibu yang bersenandung memilah cabai.
"Bu, kalau kita masih bisa beli, kenapa harus tanam sendiri? Kan ibu jadi capek, kulitnya juga jadi kusam," tanya Anggi bingung.
Ibu tertawa lantang dengan pernyataan anaknya yang tidak salah sama sekali. Beliau mengusap peluh dari dahi dan tersenyum ke anak perempuannya.