Semrawutnya tata kelola kabel Fiber Optic di Indonesia adalah masalah klasik dari tahun ketahun, yang harus segera diatasi secara serius.
Masalah itu mencerminkan keruwetan dalam sistem tata kelola pemerintah, terutama dalam soal perijinan, pengawasan, dan pengelolaan infrastruktur.
Lemahnya pemberian ijin dan pengawasan kepada para pelaksana pemasangan instalasi kabel dan semua yang terkait merupakan salah satu penyebab utamanya. Sehingga tak heran jika disetiap wilayah Jakarta, dijumpai kabel-kabel semrawut yang melintas dari tiang ke tiang, dari satu kawasan ke kawasan lainnya, tak perduli kawasan pemukiman padat penduduk, industri, maupun perkantoran.
Saking banyaknya penambahan jalur kabel baru akibat tingginya permintaan konsumen atas layanan kominikasi, internet, dan tv, membuat tiang-tiang penopang kabel berdiri miring, bahkan ada yang nyaris roboh akibat tak kuat menahan beban berat serta banyaknya kabel, yang kian waktu jumlahnya terus bertambah.
Tak hanya itu, kabel-kabel yang sudah tak terpakai dibiarkan bergelantung diatas tiang, bercampur dengan kabel lainnya, semakin menambah sumpek dan penat saat kita melihatnya. Akibat adanya pembiaran kabel bekas yang tak diturunkan, tak saja menambah kabel semakin ruwet dan kusut, serta menyulitkan masyarakat umum bahkan petugas kabel telekomunikasi dalam membedakan kabel yang masih berfungsi dengan yang sudah tidak berfungsi.
Semrawutnya kabel, akibat kabel tidak tertata rapih, tiang diatas trotoar yang tidak tertata, serta tiang penopang kabel menjadi berdiri miring akibat beban yang berlebih, dapat menyebabkan kabel dapat kendor hingga menjuntai mendekati tanah yang dapat menjerat warga, mengganggu pengguna jalan dan timbulkan kemacetan, hingga tiang penyangga dapat roboh dan menimpa sesuatu. Ini semua beresiko mengancam keselamatan masyarakat disekitarnya.
Kebiasaan Buruk Bertindak Setelah Terjadi Korban.
Hingga saat ini warganet menyoroti semrawutnya kabet-kabel tersebut, hingga mengundang banyak komentar dan tudingan dari publik yang menganggap pemerintah dan perusahaan pelaksana pemasangan kabel optic tidak memperhatikan keselamatan publik.
Desakan netizen tersebut berawal dari kejadian Sultan Rif’at Alfatih (20) menjadi korban jeratan kabel fiber optik di jalan Pengeran Antasari, Jakarta Selatan pada 5 Januari 2023, pukul 22.00 WIB. Sultan terjatuh setelah mobil jenis SUV berhenti di depan motor Sultan karena ada kabel fiber optik yang posisinya menjuntai secara melintang di tengah jalan. Sopir SUV bergerak secara perlahan agar dapat melewati kabel fiber optik yang menjuntai. Namun, sopir diduga salah perhitungan, lantaran kabel tersebut menyangkut di bagian atap mobil. Sopir yang tak menyadari hal tersebut langsung tancap gas, akibatnya kabel yang tertarik mobil, membal ke arah belakang mengenai leher Sultan. Akibat itu Sultan mengalami luka yang cukup serius.
Sultan bukan salah satu korban akibat kabel optic, sebelumnya kabel semrawut di Jakarta memakan korban jiwa yang menimpa seorang pengemudi ojek online (ojol). Korban Vadim (38) meregang nyawa setelah menjalani perawatan medis di rumah sakit.Peristiwa itu terjadi di Jalan Brigjen Katamso, Palmerah, Jakarta Barat (Jakbar) pada Sabtu 29 Juli 2023, dini hari.
Minimnya Tanggung Jawab Moral Perusahaan Kabel Optic.
Dari berbagai sumber berita, terkait jatuhnya korban Sultan setalah terjadinya peristiwa, pihak berwajib kesulitan dalam mengungkap siapa yang harus bertanggung jawab. Pasalnya kabel yang menjerat Sultan tidak memiliki identitas, atau kabel tersebut atas nama perusahaan siapa? Setelah melewati berbagai penggalian informasi, baru dapat dipetakan perusahaan pelaksana kabel-kabel tersebut, itupun belum bisa diidentifikasi perusahaannya.
Akibatnya, setelah teridentifikasi bahwa kabel yang melukai Sultan adalah kabel fiber optic untuk keperluan telekomunikasi. Hal ini akibat begitu banyaknya kabel-kabel ruwet tersebut serta pelaksana pemasangan kabel sehingga menyulitkan penyelidikan untuk mencari siapa yang harus bertanggung jawab. Saling tuding antar perusahaan kabel ruwet pun terhindarkan, satu sama lain tak mengaku bahwa kabel tersebut bukan miliknya. Disini jelas membuktikan tidak adanya kesadaran dan tanggung jawab yang kuat, sehingga akhirnya rakyat yang menjadi korban.
Jikapun akhirnya korban mendapat santunan, namun santunan yang diterima korban tak seberapa. Yang sangat memprihatinkan adalah proses penyelesaiannya harus melewati perdebatan yang tidak mengarah solutif, disisi lain korban harus segera diselamatkan, tentunya biaya dapat menjadi pertimbangan tersendiri.
Mudahnya Pemerintah Keluarkan Ijin Pekerjaan.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014, mengatur tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) tentang tatacara dan peraturan terkait pelaksanaa tender dan kontrak publik. Jika aturan ini dilakukan pemerintah secara serius dan benar, maka tidak akan terjadi penyelewengan pelaksaan pekerjaan publik, bahkan terjadi jatuh korban.
Fakta dilapangan yang sulit dibantah adalah, pelaksana/perusahaan intalasi kabel optic tersebut diatas yang dapat dimaknai memiliki kualitas moral rendah dapat memenangkan tender pekerjaan, serta ijin dari pemerintah. Jelas ini membuktikan ada yang tak beres dalam hal pemberian ijin. Padahal salah satu komitmen pemerintah Jokowi adalah memberantas pungli dan korupsi, melalui berbagai program kerja reformasi birokrasi.
Terkesan pemerintah memberi kemudahan ijin kepada peeusahaan telekomunikasi dan pelaksana kabel optik, ditengah derasnya permintaan publik atas layanan internet. Ini dapat dimaknai bahwa pemerintah hanya mengedepankan keuntungan ketimbang keselamatan publik.
Seharusnya sebelum ijin dikeluarkan dilakukan prosedur pada umumnya, dengan melakukan evaluasi dan memastikan bahwa perusahaan-perusahaan yang mendapatkan ijin untuk proyek telekomunikasi adalah yang kompeten dan profesional.
Pemilihan yang Lebih Ketat dalam Tender Proyek.
Pemerintah harus menerapkan proses tender yang lebih ketat dan transparan. Ini melibatkan pemilihan perusahaan berdasarkan kualifikasi teknis, pengalaman, dan catatan kinerja sebelumnya. Pemerintah harus memastikan bahwa perusahaan yang memenangkan tender memiliki kapabilitas yang cukup untuk menyelesaikan proyek secara profesional.
Penilaian Etika dan Kualitas Moral.
Pemerintah dapat memasukkan penilaian etika dan kualitas moral dalam proses tender. Perusahaan yang telah melanggar hukum atau memiliki catatan kinerja yang buruk dalam hal etika bisnis dapat diberikan penilaian yang rendah dalam proses tender.
Evaluasi Rutin dan Audit Kinerja.
Setelah perusahaan mendapatkan ijin, pemerintah harus melanjutkan untuk melakukan evaluasi rutin dan audit kinerja perusahaan dalam proyek-proyek mereka. Jika perusahaan menunjukkan tanda-tanda kurangnya profesionalisme atau pelanggaran etika selama pelaksanaan proyek, mereka harus dikenakan sanksi, seperti penundaan atau pembatalan proyek.
Indonesia memiliki peraturan terkait dengan tender dan kontrak publik diatur oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara. Dalam hal menilai etika bisnis dan moral, perusahaan harus mematuhi Kode Etik Bisnis dan Perilaku, yang ditentukan dalam Peraturan Pemerintah No. 35 Tahun 2019 tentang Pedoman Perilaku Perusahaan dan Pedoman Profesionalisme di Lingkungan Perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Selain itu undang-undang yang mengatur bisnis dan tender, seperti Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, dan memastikan bahwa ketentuan etika bisnis dan profesionalisme diikuti dan ditegakkan oleh para pihak terkait.
Dengan pendekatan yang lebih ketat dalam pemilihan perusahaan dan pengawasan yang lebih ketat selama pelaksanaan proyek, pemerintah dapat menciptakan lingkungan di mana perusahaan telekomunikasi harus bertanggung jawab dan menjalankan proyek dengan profesionalisme dan etika yang tinggi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H