Disusun Oleh Ian Hafiz Julio Aswin dan Muhammad Fakhri Khusaini
Dalam era revolusi industri 4.0, perkembangan teknologi digital telah membawa perubahan besar dalam dunia kerja dan industri. Proses itu tidak semata-mata muncul begitu saja, namun terdapat peran dari manusia itu sendiri yang mengembangkan industri dan teknologi secara bersamaan. Sehingga keterkaitan antara keduanya membawa perubahan besar pada pekerja yang ada di zaman sekarang. Perubahan besar ini ditandai dengan meningkatnya penggunaan teknologi digital, seperti kecerdasan buatan (Artificial Intelligence), big data, dan otomisasi yang merubah cara perusahaan beroperasi serta tuntutan terhadap pekerja semakin kompleks. Digitalisasi pekerjaan muncul pada revolusi industri 4.0 yang memungkinkan pekerja untuk beradaptasi pada teknologi digital. Digitalisasi adalah suatu proses dimana konversi data atau informasi yang tadinya berbentuk analog atau fisik akan menjadi digital sehingga dapat diakses, diproses, dan disimpan secara elektronik menggunakan perangkat komputer atau perangkat elektronik lainnya (Ramadhani et al., 2024).
Di sisi satu sisi, digitalisasi menciptakan peluang untuk meningkatkan produktivitas dan inovasi di berbagai sektor khususnya pekerjaan. Kemajuan teknologi tidak hanya menciptakan efisiensi baru dalam produksi atau pelayanan tetapi juga menghadirkan tantangan yang besar bagi para pekerja. Kompetensi teknologi kini menjadi syarat utama dalam banyak sektor yang dulunya menggunakan keahlian tradisional atau manual maka sekarang menggunakan teknologi yang akan mendominasi seluruh sektor. Teknologi memungkinkan pekerjaan dilakukan dengan lebih cepat, akurat dan efisien. Namun di sisi lain, perubahan ini mewujudkan disrupsi pada pasar tenaga kerja. Munculnya kesenjangan digital antara pekerja yang terampil dalam teknologi dan mereka yang belum mampu beradaptasi menciptakan dinamika baru dalam hubungan kerja.
Tidak semua pekerja mampu beradaptasi dengan cepat terhadap tuntutan era digital. Kesenjangan keterampilan dalam hal digital akan menimbulkan ketidaksetaraan. Selain itu, perubahan ini juga berdampak pada pola hubungan kerja, seperti meningkatnya praktik kerja fleksibel, pekerjaan pada jarak jauh, dan penggunaan digital untuk merekrut tenaga kerja. Hal ini memunculkan terkait stabilitas pekerjaan, hak pekerja, dan hubungan antara pemberi kerja dan karyawan. Dalam konteks ini, esai ini akan mengeksplorasi bagaimana digitalisasi pekerja dalam menyesuaikan diri dengan perubahan yang ada di revolusi industri 4.0.
Digitalisasi dapat memudahkan proses pekerjaan yang sebelumnya manual menjadi lebih cepat, efisien, serta akurat. Misalnya pada sektor perbankan, perkembangan dari teknologi telah mengurangi peran para pekerja di sektor pelayanan, seperti teller dan customer service. Sejak tahun 2016, sekitar lebih dari 50.000 pekerja perbankan di Indonesia terkena pemutusan kontrak kerja, karena layanan otomatis seperti ATM, internet banking, dan aplikasi mobile banking yang dapat menggantikan peran manusia itu sendiri (Dhyanasaridewi, 2020). Selain itu, digitalisasi teknologi juga dapat membuat perusahaan untuk memanfaatkan platform-platform daring, seperti e-commerce dan juga layanan berbasis aplikasi lainnya, yang semakin memperluas jangkauan layanan tanpa membutuhkan tambahan tenaga kerja fisik atau manusia. Namun, digitalisasi tidak hanya berbicara tentang pengurangan pekerjaan, tetapi juga dapat membuka peluang pekerjaan baru. Menurut McKinsey Global Institute dalam Afrison HN (2023), pekerjaan di seluruh dunia sekitar 15% dapat diotomatisasi, tetapi digitalisasi juga mendorong terciptanya jenis pekerjaan baru, terutama dalam bidang teknologi informasi, pengembangan perangkat lunak, data analyst, dan pemasaran digital. Sebab, sekitar beberapa tahun kebelakang, di Indonesia banyak bermunculan platform-platform digital seperti Gojek dan Tokopedia yang berhasil menciptakan jutaan lapangan kerja baru, baik untuk pengemudi transportasi daring, serta pedagang kecil atau UMKM di platform e-commerce (Dhyanasaridewi, 2020). Pelaku usaha kecil dan menengah (UKM), yang sering kali mendominasi sektor informal di negara berkembang seperti Indonesia, dihadapkan pada peluang baru melalui e-commerce. Namun, banyak pelaku UMKM yang masih kesulitan mengakses infrastruktur digital dan pelatihan keterampilan yang diperlukan untuk memanfaatkan teknologi ini secara efektif. Hal ini dapat menciptakan celah kompetitif antara pelaku usaha yang mampu beradaptasi dengan teknologi dan mereka yang tertinggal (Dhyanasaridewi, 2020; Kurniawan & Aruan, 2021).
Adapun, peluang dari digitalisasi tidak serta-merta dapat dirasakan oleh semua pekerja. Sebab, digitalisasi diharuskan untuk dapat menguasai keterampilan baru yang sering tidak dimiliki oleh sebagian besar tenaga kerja, terutama pekerja di negara-negara berkembang. Permintaan perusahaan untuk pekerja dengan keterampilan teknologi, seperti pemrograman, data analyst, dan penguasaan AI, telah meningkat pesat. Sementara itu, pekerjaan yang bersifat rutin dan repetitif semakin terancam, karena telah digantikan oleh mesin. Akibatnya, kesenjangan keterampilan dapat terjadi antara tenaga kerja yang mampu beradaptasi dengan teknologi dan pekerja yang tertinggal. Menurut laporan the future of jobs oleh World Economic Forum, sekitar lebih dari 50% pekerjaan di masa yang akan datang, membutuhkan keterampilan teknologi yang cukup kompleks dan banyak perusahaan mengeluhkan kesulitan untuk menemukan karyawan yang memenuhi kebutuhan mereka (Afrison HN, 2023; Dhyanasaridewi, 2020).
Selain itu, ketimpangan keterampilan tersebut juga berdampak terhadap ketimpangan pendapatan. Pekerja dengan keterampilan yang mumpuni, cenderung mendapatkan upah yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan pekerja yang berada di sektor-sektor terdampak otomatisasi. Penelitian oleh OECD menunjukkan bahwa pekerja dengan keterampilan digital memiliki pertumbuhan pendapatan yang lebih baik, sementara pekerja di sektor rutin menghadapi penurunan daya tawar (Afrison HN, 2023; Kurniawan & Aruan, 2021). Akibatnya, polarisasi digital dalam pasar tenaga kerja meningkat, dan memperburuk ketimpangan yang ada. Digitalisasi telah merubah pola hubungan kerja secara signifikan, terbukti dengan banyaknya perusahaan yang beralih ke model kerja fleksibel, yang membuat karyawan bekerja dari jarak jauh (work from anywhere) atau yang biasa dikenal dengan freelance. Model ini memberikan fleksibilitas waktu dan tempat bagi para pekerja, tetapi model ini juga dapat mengurangi stabilitas pekerjaan dan perlindungan atau jaminan hak-hak pekerja. Platform seperti Uber, Grab, dan Gojek menjadi contoh nyata bagaimana digitalisasi menciptakan lapangan kerja yang fleksibel tetapi sering kali tidak stabil. Pekerja dalam model ini cenderung tidak memiliki kontrak kerja yang jelas, perlindungan sosial, atau keamanan kerja jangka panjang (Kurniawan & Aruan, 2021).
Selanjutnya, di sektor formal, digitalisasi juga mempengaruhi dinamika hubungan antara pemberi kerja dan pekerja. Perusahaan semakin bergantung pada algoritma dan sistem digital untuk merekrut, mengevaluasi, dan mengelola karyawan. Hal ini menimbulkan kekhawatiran tentang transparansi dan keadilan dalam proses rekrutmen dan penilaian kinerja. Di sisi lain, teknologi ini juga memungkinkan perusahaan untuk memantau kinerja karyawan secara real-time, yang dapat meningkatkan efisiensi tetapi juga menimbulkan tekanan psikologis bagi pekerja. Pemerintah memiliki peran penting dalam mengelola dampak digitalisasi ini. Kebijakan yang mendukung pelatihan ulang tenaga kerja, pengembangan pendidikan berbasis teknologi, dan investasi dalam infrastruktur digital sangat diperlukan untuk memastikan bahwa semua pekerja memiliki kesempatan yang sama dalam menghadapi transformasi ini. Misalnya di Indonesia, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-2024 mencakup strategi untuk meningkatkan literasi digital, menyediakan pelatihan keterampilan baru, dan mendorong kolaborasi antara pemerintah, sektor swasta, dan lembaga pendidikan (Teknokratik dalam Dhyanasaridewi, 2020).
Namun, tantangan terbesar terletak pada implementasi kebijakan tersebut. Peningkatan ketergantungan pada teknologi juga menciptakan tantangan baru dalam hal keamanan dan privasi data. Dalam dunia kerja modern, data pekerja digunakan untuk berbagai tujuan, mulai dari analisis kinerja hingga pengambilan keputusan strategis. Namun, penggunaan data ini sering kali tidak disertai dengan perlindungan yang memadai, sehingga menimbulkan risiko penyalahgunaan dan pelanggaran privasi. Oleh karena itu, regulasi yang mengatur penggunaan data pekerja menjadi semakin penting untuk melindungi hak individu di era digital.
Pemerintah seringkali lambat dalam merespons perubahan yang terjadi di industri pekerjaaan akibat digitalisasi. Regulasi yang jelas tentang hak-hak pekerja dalam ekonomi berbasis platform masih sangat terbatas. Hal ini menciptakan ketidakpastian hukum bagi pekerja dan perusahaan, yang pada akhirnya menghambat pertumbuhan ekonomi digital itu sendiri. Meskipun demikian, sejarah menunjukkan bahwa setiap revolusi industri selalu membawa perubahan besar dalam struktur pekerjaan, tetapi juga menciptakan peluang baru. Revolusi Industri 4.0 jika dilakukan dengan pendekatan yang tepat, digitalisasi dapat menjadi pendorong utama pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan. Pendidikan dan pelatihan adalah kunci untuk memastikan bahwa tenaga kerja masa depan siap menghadapi tantangan ini. Selain itu, kolaborasi antara sektor publik dan swasta diperlukan untuk menciptakan ekosistem yang mendukung inovasi sekaligus melindungi hak-hak pekerja