Mohon tunggu...
Queenara
Queenara Mohon Tunggu... Lainnya - ⊂⁠(⁠(⁠・⁠▽⁠・⁠)⁠)⁠⊃

Sastra😾

Selanjutnya

Tutup

Horor

Bisikan Dini Hari

15 Desember 2023   17:45 Diperbarui: 15 Desember 2023   17:48 230
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Horor. Sumber ilustrasi: pixabay.com/Mystic Art Design

Rumah mewah yang besar milik almarhum kakek masih terlihat bagus dan terawat. Ibu menyuruhku untuk menginap di rumah kakek selama libur semester kuliah karena ayah dan ibu akan melakukan perjalanan bisnis ke luar negri. Menginap di rumah kakek jauh lebih menyenangkan daripada harus mengikuti kedua orang tuaku. 

Langkah kakiku membawaku masuk ke dalam rumah melalui pintu kayu bercorak emas. Kedatanganku disambut baik oleh pelayan yang mengurus rumah ini. Begitu masuk ke dalam rumah, seluruh bayangan masa lalu terlintas dalam pikiranku, bagaimana bahagianya aku bermain di rumah kakek bersama dengan saudaraku yang lain.

"Bi Inah, kapan Naya dan Raka akan datang ke sini?" tanyaku yang sedang menyamankan diri di kursi tamu.

"Mereka tadi berkabar akan berkunjung besok lusa, jadi mereka akan datang hari Jumat nanti," jelas Bi Inah, pelayan rumah ini yang telah mengabdi pada kakek 15 tahun lamanya.

Aku bergegas ke lantai dua untuk meliht-lihat kamar mana yang akan aku tinggali selama satu bulan. Terhitung ada enam kamar di lantai dua, dan masih banyak kamar di lantai tiga dan empat. Bersenandung ria dan berjalan dengan lompatan kecil yang bahagia, perhatianku tertuju pada kamar di pojok lorong yang memiliki balkon luas.

"Aku akan tidur di sini saja, Bi," pintaku pada Bi Inah yang mendapat respons anggukan kepala.

Kasur yang luas dan nyaman menjadi sasaranku. Aroma khas melati yang selalu menyertai rumah ini membuatku merasa sangat rindu dengan keberadaan kakek. Mungkin karena aku merasa lelah selama enam jam perjalanan kemari, rasa kantuk menyerang begitu aku memeluk guling dan menyamankan diriku di kasur yang luas ini.

Hawa dingin alami menerpa wajahku yang berkeringat, aku terbangun ketika di bulan sudah menggantikan matahari. Kulihat jam besar di kamar ini menunjukkan pukul dua lewat lima menit. Aku memutuskan untuk mengganti pakaian terlebih dahulu karena keringat yang membaluri tubuhku.

Baju tidur model gaun berwarna putih adalah baju kesukaanku. Aku duduk bersimpuh di bawah untuk membongkar isi ranselku dan berharap akan menemukan beberapa jajanan. Waktu terus berjalan, tetapi jarum panjang pada jam besar itu tak kunjung berputar. Jarumnya masih menunjukkan pukul dua lewat lima menit. Hawa dini hari membuatku sedikit kedinginan dan merinding. Tak tahu pasti, tetapi telingaku seperti mendengar suara bisikan halus memanggil namaku. 

"Ajeng... Ajeng..."

Panggilan lirih itu membuatku sedikit penasaran, tetapi rasa itu segera ditepis mengingat aku yang memang sering mendengar suara padahal tidak ada yang bersuara. Setelah beberapa saat mencari, aku menemukan sebungkus keripik tempe dan segera membawanya ke kasur. Karena tidak bisa tidur, aku memutuskan untuk bermain HP sembari memakan keripik tempe yang kubawa.

Matahari pagi menyapaku yang tidak bisa tidur sepanjang malam. Dengan langkah lemas, aku turun ke bawah dan bersiap untuk menyantap sarapan. Sekarang pukul tujuh pagi, tetapi mengapa tidak ada satupun pelayan yang menyiapkan sarapan? 

Tanganku menyambar roti yang berada di lemari atas dan memakannya begitu saja, setidaknya ada sesuatu yang bisa menahan laparnya. Karena bosan, aku memutuskan untuk kembali ke dalam kamar dan merenung di balkon kamar. Pandangan hijau meluas dengan hiasan bunga di beberapa bagiannya, taman di rumah kakeknya begitu asri dan indah.

Aku memutuskan untuk menyusuri perumahan rumah kakek, berharap ada beberapa orang yang menjual makanan sehingga aku tak kelaparan lagi. Kicau burung bersahutan menemani cuaca cerah pagi ini. Kulihat ada beberapa orang yang menjual makanan di pinggir jalan perumahan.

"Mas, ketopraknya satu, ya," ucapku pada sang penjual.

Aku mengamati betapa terampilnya si penjual dalam membuat ketoprak. Namun, ada satu hal yang mengganggu pikiranku, yaitu tatapan kosong dari si penjual. Ingin rasanya aku mengobrol dengan si penjual, tetapi hawa di sekitarku entah mengapa menjadi suram dan tidak enak. Begitu pesananku selesai, aku segera membayar ketoprak itu dan bergegas untuk pulang ke rumah.

Hawa mencekam di rumah tak jauh berbeda dengan suasana di luar tadi. Aku melihat jam tanganku dan waktu menunjukkan pukul dua lewat lima menit. Hal ini sama persis seperti yang kulihat di kamarku.

Pandanganku seperti menguning, rasanya seperti sedang melihat film lawas ala vintage. Pintu terbuka dengan keras, aku terkejut dan langsung melihat ke arah sumber suara. Hal yang lebih mengejutkan adalah aku melihat Bi Inah berdiri dengan napas tersengal-sengal. Dengan cepat aku menghampiri Bi Inah, tetapi dia malah pergi begitu saja dan berlari ke lantai dua. 

Bi Inah berlari di lorong lantai dua dan menghampiri kamar tempat aku beristirahat. Sejenak aku berpikir untuk apa Bi Inah terlihat panik padahal aku sedari tadi berdiri di hadapannya. Begitu aku masuk ke dalam kamar, rasanya jantungku berhenti berdetak selama beberapa saat. Karena yang kulihat adalah kamar yang penuh dengan bercak merah. Air mataku turun begitu saja kala aku melihat bahwa kakek sedang berbaring di atas kasur dengan kondisi yang mengenaskan. Tak percaya dengan yang kulihat, aku meraung dan menangis begitu keras. Tak kuasa kala Bi Inah dan pelayan lain mulai membersihkan kekacauan yang ada, kulihat jam besar di kamar ini, waktu menunjukkan pukul dua lewat lima dan jam besar itupun tidak bekerja lagi.

Entah apa yang kupikirkan, tetapi tanganku membawaku untuk menarik jarum jam tersebut mundur satu jam sebelumnya. Sekarang pukul satu tepat dan ketika aku berbalik, aku masih mendapati kakek sedang menikmati tehnya di balkon kamar. Aku mendekatinya dan menangis di hadapannya, betapa aku merindu pada kehadiran kakek. Larut bersama kesedihan, samar aku mendengar langkah kaki pelan yang terasa seperti penyusup. Aku berdiri dan bersiap menghadapi orang itu, karena setelah apa yang kualami, aku yakin bahwa orang ini pasti pembunuh dari kakek.

Knop pintu berputar dan pintu terbuka, hela kecewa menyambut kedatangan dua orang yang menutupi seluruh tubuhnya dengan kain hitam. Hal ini membuatku tidak bisa mengetahui siapa kedua penyusup ini. Mereka mengendap menuju tempat kakek berada, aku sudah tahu apa yang akan terjadi sehingga aku memutuskan untuk membutakan pandanganku dan menulikan pendengaranku. Meski kurasa kita berada pada dimensi waktu yang berbeda, aku bisa merasakan cipratan cairan kental di bagian belakang tubuhku. Aku semakin berteriak dan menangis mengetahui fakta dibalik kasus kematian kakekku.

"Segera bereskan kekacauan yang ada, kita tak punya banyak waktu."

Suara yang tak asing, suara yang kukenal, suara yang selalu aku dengarkan. Tubuhku membeku dan aku memberanikan diri untuk menoleh ke belakang dan melihat ke arah mereka bertiga. Kain penutup muka masih melindungi identitas dari si pelaku pembunuhan, tetapi aku tahu siapa mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Horor Selengkapnya
Lihat Horor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun