Matahari pagi menyapaku yang tidak bisa tidur sepanjang malam. Dengan langkah lemas, aku turun ke bawah dan bersiap untuk menyantap sarapan. Sekarang pukul tujuh pagi, tetapi mengapa tidak ada satupun pelayan yang menyiapkan sarapan?
Tanganku menyambar roti yang berada di lemari atas dan memakannya begitu saja, setidaknya ada sesuatu yang bisa menahan laparnya. Karena bosan, aku memutuskan untuk kembali ke dalam kamar dan merenung di balkon kamar. Pandangan hijau meluas dengan hiasan bunga di beberapa bagiannya, taman di rumah kakeknya begitu asri dan indah.
Aku memutuskan untuk menyusuri perumahan rumah kakek, berharap ada beberapa orang yang menjual makanan sehingga aku tak kelaparan lagi. Kicau burung bersahutan menemani cuaca cerah pagi ini. Kulihat ada beberapa orang yang menjual makanan di pinggir jalan perumahan.
"Mas, ketopraknya satu, ya," ucapku pada sang penjual.
Aku mengamati betapa terampilnya si penjual dalam membuat ketoprak. Namun, ada satu hal yang mengganggu pikiranku, yaitu tatapan kosong dari si penjual. Ingin rasanya aku mengobrol dengan si penjual, tetapi hawa di sekitarku entah mengapa menjadi suram dan tidak enak. Begitu pesananku selesai, aku segera membayar ketoprak itu dan bergegas untuk pulang ke rumah.
Hawa mencekam di rumah tak jauh berbeda dengan suasana di luar tadi. Aku melihat jam tanganku dan waktu menunjukkan pukul dua lewat lima menit. Hal ini sama persis seperti yang kulihat di kamarku.
Pandanganku seperti menguning, rasanya seperti sedang melihat film lawas ala vintage. Pintu terbuka dengan keras, aku terkejut dan langsung melihat ke arah sumber suara. Hal yang lebih mengejutkan adalah aku melihat Bi Inah berdiri dengan napas tersengal-sengal. Dengan cepat aku menghampiri Bi Inah, tetapi dia malah pergi begitu saja dan berlari ke lantai dua.
Bi Inah berlari di lorong lantai dua dan menghampiri kamar tempat aku beristirahat. Sejenak aku berpikir untuk apa Bi Inah terlihat panik padahal aku sedari tadi berdiri di hadapannya. Begitu aku masuk ke dalam kamar, rasanya jantungku berhenti berdetak selama beberapa saat. Karena yang kulihat adalah kamar yang penuh dengan bercak merah. Air mataku turun begitu saja kala aku melihat bahwa kakek sedang berbaring di atas kasur dengan kondisi yang mengenaskan. Tak percaya dengan yang kulihat, aku meraung dan menangis begitu keras. Tak kuasa kala Bi Inah dan pelayan lain mulai membersihkan kekacauan yang ada, kulihat jam besar di kamar ini, waktu menunjukkan pukul dua lewat lima dan jam besar itupun tidak bekerja lagi.
Entah apa yang kupikirkan, tetapi tanganku membawaku untuk menarik jarum jam tersebut mundur satu jam sebelumnya. Sekarang pukul satu tepat dan ketika aku berbalik, aku masih mendapati kakek sedang menikmati tehnya di balkon kamar. Aku mendekatinya dan menangis di hadapannya, betapa aku merindu pada kehadiran kakek. Larut bersama kesedihan, samar aku mendengar langkah kaki pelan yang terasa seperti penyusup. Aku berdiri dan bersiap menghadapi orang itu, karena setelah apa yang kualami, aku yakin bahwa orang ini pasti pembunuh dari kakek.
Knop pintu berputar dan pintu terbuka, hela kecewa menyambut kedatangan dua orang yang menutupi seluruh tubuhnya dengan kain hitam. Hal ini membuatku tidak bisa mengetahui siapa kedua penyusup ini. Mereka mengendap menuju tempat kakek berada, aku sudah tahu apa yang akan terjadi sehingga aku memutuskan untuk membutakan pandanganku dan menulikan pendengaranku. Meski kurasa kita berada pada dimensi waktu yang berbeda, aku bisa merasakan cipratan cairan kental di bagian belakang tubuhku. Aku semakin berteriak dan menangis mengetahui fakta dibalik kasus kematian kakekku.
"Segera bereskan kekacauan yang ada, kita tak punya banyak waktu."