Sekolah telah usai, semua siswa berbondong-bondong keluar kelas. Aku melangkahkan kakiku menuju kamar mandi lantai tiga. Senandung kecil kunyanyikan, temani perjalanan yang sunyi ini. Aku jarang berada di lantai tiga, dapat kulihat furnitur tua menghiasi lorong lantai tiga, lantainya sedikit berdebu, baunya lembab, mungkin karena tempat ini memang jarang dikunjungi.
Aku telah sampai di depan pintu kamar mandi yang sudah usang, sebagian dari pintunya sudah habis dimakan rayap, dengan perlahan kubuka pintu yang mengeluarkan suara decitan nyaring. Kulihat sekeliling, fyuh, aman.
"Katanya tempat ini angker, tetapi aku tak melihat satupun hantu yang bergentayangan?" gumamku.
"Itu karena aku penguasa kamar mandi ini."
Demi Tuhan! Bisakah Natia muncul tanpa membuat terkejut?
"Natia! Lain kali beri aku tanda kalau kamu akan muncul."
"Lah? Sudah kok, bau melatinya ga kecium ya?"
Bau melati ya, pantas saja dari tadi baunya semerbak sekali padahal tidak ada wujudnya, ternyata tanda dari Natia, tetapi tetap saja kaget jika dia selalu muncul tiba-tiba.
"Ya ya ya, terserah."
Natia terlihat bersedekap dada, "Bagaimana? Kau siap membantuku kan?"
"Iya, aku akan membantumu, bagaimana cara agar aku bisa membalasmu tadi pagi huh?"
"Itu mudah, cukup tunjukkan siapa pembunuhku, beres."
"Huh? Yang benar saja, aku bukan detektif." Aku hanya bisa melihat hantu, aku tidak bisa melihat masa lalu seseorang, bagaimana mungkin aku bisa menemukan pembunuh Natia?
"Tenang, aku sudah tau siapa pembunuhnya, namun aku sudah mati, tidak ada cara lain. Aku kasihan dengan korban fitnah dari guru itu."
"Apa? Guru?" tanyaku terheran. Seorang guru telah membunuh muridnya, dan mungkin dia masih berkeliaran di lingkungan sekolah, ini menakutkan.
"Ya, guru."
"Baiklah, aku bisa membantumu."
BRAK
Suara pintu yang didobrak, kami saling memandang. Seorang lelaki dengan tubuh tinggi, rambutnya hitam sedikit kemerahan, parasnya rupawan, sulit dibayangkan jika ada lelaki setampan ini di sekolahku.
"Maaf menguping, tapi kau sedang mengobrol dengan Kak Natia, ya?" tanya lelaki itu. Siapa sih dia? Kenapa dia bisa tau aku sedang mengobrol dengan Natia?
"Oh ya, namaku Bagas, adik kandung Kak Natia." Tangannya terulur padaku, sepertinya memang adik dari Natia, karena perilaku mereka sama.
"Ya, dia adikku, mungkin dia bisa membantu juga," tegas Natia.
Dengan gugup aku menjabat uluran tangan Bagas, "Aku Aria."
Dapat kulihat Bagas tersenyum manis, aku terpana melihatnya. Pipinya memerah, entah karena faktor kepanasan atau malu, eh tapi dia malu karena apa? Tidak mungkin karena aku.
"Aku boleh bantu mengungkap pembunuh Kak Natia? Aku siap sedia membantu kak Aria kapan saja," tanya Bagas dengan penuh harap.
"Ya, tapi kamu harus benar-benar membantu, jangan merepotkan dan menjadi beban," jawabku.
"Siap, Kak!" Bagas membalas dengan pose hormat, sungguh lucu.
"Bagaimana jika besok kita mulai rencananya?" sahut Natia.
"Baiklah, besok kita mulai rencananya."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H