Bekerja sebagai penagih hutang dan pembunuh bayaran dari kelompok Anjing Sembilan adalah suatu hal yang menyenangkan. Melihat ekspresi ketakutan para mangsa merupakan sensasi yang membuatku sangat senang. Namun, ada satu orang yang aku benci apabila menunjukkan raut ketakutan maupun sedih miliknya, yaitu kekasih hatiku, Nakula. Hanya Nakula yang mampu memberiku serangan hormon serotonin yang membuatku nyaman ketika berada di dalam dekapannya. Aku akan melakukan segalanya untuk Nakula, termasuk membiayai seluruh kebutuhan hidupnya.
Kami bertemu di suatu malam setelah aku menghabisi salah satu mangsa sesuai titah dari ketua Anjing Sembilan. Dia tampak begitu khawatir dengan kondisiku yang babak belur dan bersimbah darah. Bahkan kala itu kami belum berkenalan, tetapi dia menawarkan untuk mampir ke dalam rumahnya yang terlihat kumuh.
"Maaf ya, rumahku berantakan." Itulah kata yang dia ucapkan ketika kami memasuki rumahnya. Dengan telaten ia mengobati seluruh lukaku.
Dari situ kami mulai sering bertemu, terkadang Nakula membuntutiku seperti anak kecil padahal sudah kularang, karena dia menjadi hambatan untuk aku dapat menyelesaikan misi Bos Besar. Hubungan kami masih tetap terasa romantis setelah 5 tahun menjalin tali kasih asmara. Hingga kini ia sudah memiliki pekerjaan yang mapan.
Melihat Nakula yang sudah hidup lebih baik, aku memutuskan untuk berhenti dari pekerjaan kotor dan penuh dosa ini. Aku ingin hidup dengan tali suci ikatan pernikahan bersama Nakula.
"Kau yakin ingin berhenti, Velo? Bahkan aku sudah berencana menjadikanmu ketua untuk meneruskan Anjing Sembilan," bujuk si Bos Besar untuk menahan kepergianku.
"Keputusanku sudah bulat, Bos." Aku pun mengeluarkan cincin yang kubeli untuk melamar Nakula. Sedikit melanggar hokum alam karena perempuan melamar lelakinya, tetapi itu tidak mengapa, aku serius ingin menikahi Nakula.
"Baiklah, tetapi izinkan aku untuk tetap memberi penjagaan untukmu, ya?" tawar Bos Besar.
"Oke, tidak mengapa." Dengan perasaan berbunga, aku mengeluarkan ponselku dan mengirim pesan untuk Nakula. Rencananya aku ingin melamarnya di tempat di mana kami bertemu untuk pertama kalinya, lapangan luas di bawah jembatan.
Aku menanti kehadiran Nakula dengan penuh kesabaran. Hingga satu suara memecahkan fokus sekaligus hidupku.
Dor!
Suara tembakan yang begitu memekakkan telinga dan menembus perut kananku. Sekuat tenaga aku membalikkan badanku dan menemukan seorang perempuan menodongkan senjatanya ke arahku. Itu tak seberapa sakitnya ketimbang hatiku yang teriris melihat sosok yang kutunggu berdiri di sampingnya dengan baju khas kelompok Dewa Sembilan, musuh sejati kelompok Anjing Sembilan.
"Berikan itu padaku, sayang. Biar aku yang membunuhnya beserta seluruh cintanya padaku," ucap Nakula dengan penuh penekanan.
Tidak terasa sakit ketika dadaku terluka akibat ulahnya, aku sudah mati bersama fakta bahwa dia tidak mencintaiku. Nakula dengan kejamnya membunuh cintaku. Rasa penyesalan memupuk di dada, aku selalu berbuat dosa di dunia yang suci ini, aku ingin berhenti mengotori dunia. Namun, itu semua sia-sia. Bahkan di sisa napasku aku mencintai orang yang salah. Aku mencintai orang yang tidak mencintaiku. Aku salah dan aku menyesal. Aku benci mencintaimu, Nakula.
"A-aku mengutukmu, Nakula," ucapku di akhir napasku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H