Cukup lama saya menahan diri untuk menulis tentang fenomena antrian BBM di SPBU. Tapi kali ini rasa-rasanya perasaan dan pemihakan nurani saya sedemikian Kuat, seperti tulisan yang ingin saya lupakan tapi terus menghantui alam imajiner saya, oleh karena itu tak ada jalan lain, ini harus kutulis.
Di suatu sore yang terik, saya mengikuti antrian BBM yang mengular pada salah satu SPBU di Tanjung Redeb, tak seperti hari-hari sebelumnya pasca kenaikan harga BBM kali ini kian banyak pengantri BBM menerobos terik panas matahari, mendorong motor-motor besar. mobil-mobil membentuk barisan sendiri mengular dan merangkak dengan sangat pelan.
Tak pelak lagi gelak tawa para pengantri itu seolah-olah bagian dari sebuah hiburan dan identitas baru, orang-orang yang begitu keras menjalani hidup, motor-motor mereka yang bertangki tambun disertai dengan jiregen yang tergantung pada sisi kiri dan kanan adalah sebuah pertanda runtuhnya sebuah aturan, tak ada lagi larangan menyedot BBM berulang kali, membawa jiregen tambahan bahkan kembali mengantri lagi beberapa saat kemudian dengan motor yang sama.
Sebuah mobil avanza  berwarna silver tak kalah  "hebatnya" sembari menunggu antrian seorang ibu bertopi tudung lebar membawa 5 buah jiregen berkapasitas 20 liter dan dimasukkan ke dalam mobil, dan di saksikan oleh kami dan banyak orang. Ketika mobil itu mengisi full tangkinya, pintu mobil terbuka dan di isi hingga full semua jiregen tadi. Cukup lama proses mengisinya, dan di sisi kiri motor silih berganti mengisi tangki dan jiregen masing-masing.
Di tengah-tengah ujian menahan jiwa ingin protes, beberapa mobil di belakang mulai membunyikan klakson, mungkin mereka seperti kami sekedar ingin mengisi tangki mobil hingga full dan cukup tanpa mencoba memanfaatkan situasi dengan mengganggu hak orang lain.
Satu lagi mobil di depan saya, sebelum mendapat giliran sebuah mobil avanza putih masuk dengan cepat dari arah pintu keluar, memutar dengan santai dan mundur dengan taksim memotong antrian yang begitu panjang. Para petugas SPBU tak bergeming, mobil itu diberi pelayanan seolah-olah tak terjadi apa-apa. Orang-orang itu menganggap semua itu tak ada masalah.
***
Hidup yang tangguh setidaknya memang tak akan pernah lekang oleh rimba dan berbagai terjal pahitnya perjuangan. Dunia sepertinya sengaja diciptakan sedemikian rumit, misterius dan memberikan godaan kekuasaan, rasa dengki , serakah , sekaligus belas kasih.
Apa yang terjadi dengan rakyat? Jika pemerintah kembali menyalakan percikan api kekecewaan di 100 hari pemerintahan. Di tengah-tengah BBM yang melambung tinggi, mereka para pejabat merasa belum cukup dengan mobil yang bermerk biasa-biasa. Apa yang terjadi dengan Revolusi mental? ketika rakyat tak pernah melihat pemimpinya sebagai guru kehidupan, seperti kata-kata lantang pada masa kampanye yang kini ditelan waktu.
Lelaki yang turun dari mobil putih, yang menyerobot antrian BBM boleh jadi merasa punya kuasa terhadap hak-hak orang lain atas pelayanan publik, pun petugas yang dengan takzim memberikan pelayanan, juga punya kuasa dan otoritas.
Kini, kita hanya bisa mengurut dada, mencoba menghirup udara agak panjang dan menghembuskanya secara perlahan. Alhamdulillah pemilik seluruh jiwa manusia memberikan nafas yang berarti untuk masih bisa hidup hingga hari ini. Rasa keadilan yang kita dapatkan sore itu di sebuah SPBU yang konon masih carut marut merupakan ujian bagi kita semua. Bahwa hidup sepersekian detik sekalipun tak akan pernah lolos dari ujian, jika ada rakyat Indonesia yang sedemikian pintar melontarkan protes atas kenaikan BBM, mengutuk hukum yang tumpul  ke atas, dan merasa dizalomi oleh pemerintah, akan tetapi dengan langkah kaki tegap rela melanggar aturan semisal antri BBM, menutup mata dengan rasa keadilan atas hak orang lain, bahkan dengan rasa bangga merasa memiliki kuasa atas semua itu, maka sejatinya, negeri ini adalah ibarat sebuah padang ilalang, negeri yang keindahan dan tepa seliro satu sama lain hanya bisa dijangkau dengan pandangan mata sedemikian jauh, hanya berupa sketsa mimpi-mimpi absurd yang pada akhirnya cukup dikenang sebagai sejarah yang tak pernah terwujud.
Negeri ini tak hanya butuh pemimpin yang bisa menjadi guru kehidupan, tapi disisi lain negeri ini butuh rakyat yang memiliki identitas budaya saling menghormati, belas kasih sama yang lain dan tidak dengan pongah mengambil hak orang lain. Identitas kerakyatan yang gemar tolong menolong sejatinya adalah perekat untuk keluar dari polemik problematika mentalitas keummatan hari ini.
***
Ketika sore yang murung itu menjemput malam, usai mengisi tangki mobil dengan antrian sedemikian lama, saya tersenyum seraya berdoa di dalam hati. Tak ada jiwa yang kuat yang tumbuh dari komunitas yang mapan, terkadang gradasi kebenaran dan rasa keadilan justru akan tampil menampar-nampar pemihakan nurani kita. Selebihnya mereka semau adalah saudara-saudaraku, yang berusaha menganrungi samudera kehidupan yang begitu keras. Seperti halnya saya. Setelah itu saya meninggalkan sambaliung dengan dada begitu lapang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H