Yang menghina martabat turunanmu sendiri begini macam ?"
(hal. 181, Minke)
Adegan sentimentil yang digambarkan Pram antara Minke yang merupakan pelajar dan memiliki ilmu pengetahuan seperti orang Eropa dihadapkan dengan Ayahandanya seorang Bupati keturunan darah raja yang menggenggam adat jawa sepenuhnya, dimana terdapat perbedaan yang sangat ketara dari cara berpikirnya.
Ayahanda Minke yang mengetahui bahwa putranya sudah lama tinggal bersama Gundik merasa malu bagaimana seorang terpelajar siswa H.B.S bisa tinggal dengan seorang gundik, simpanan orang Eropa. Ayahanda Minke yang takut akan pendapat umum, berbeda dengan Minke yang tak menelan mentah-mentah pendapat umum tersebut tetapi dengan hasil belajarnya selama ini, mampu membedakan mana yag benar dan salah.
Tak hanya Ayahandanya, pihak sekolah pun setelah mendengar kabar bahwa Minke tinggal bersama Gundik Tuan Mellema, membuat Minke di keluarkan dari sekolah. berkat kepandaiannya menulis, Minke menuangkan ketidakpuasannya dalam tulisan yang lalu dia kirim ke sebuah koran sehingga membuat dia kembali masuk ke sekolah.
Sampai Minke lulus dari H.B.S akhirnya Minke mempersunting Annelies agar tidak ada omongan dari orang lain dengan restu Bundanya dan Nyai Ontosoroh. Kehidupan pernikahan Minke dan Annelies tak berjalan lancar. Masalah datang, kali ini dari pengadilan yang ditunjukan untuk Annelies dan Nyai Ontosoroh dari Mevrouw Amelia Mellema Hammers dan anaknya Ir. Maurits Mellema yang merupakan istri dan anak yang sah dari Tuan Herman Mellema yang ingin mengambil semua harta benda mendiang Herman Mellema dan sekaligus merampas Annelies dari Minke dan Nyai Ontosoroh.
Segalanya cara telah ditempuh Nyai dan Minke dari melalui jalur hukum sampai tulisan-tulisan Minke yang di sebar ke berbagai kampung untuk mendapat dukungan atas ketidakadilan hukum pengadilan putih terhadap Pribumi. Dari penggambaran tersebut Pram mencoba memberitahukan bagaimana hukum pada masa kolonial yang masih cacat dan tak berpihak kepada Pribumi. Seberapa kerasnya pribumi melawan, tetap orang berkulit putih, Eropa itu yang akan memenangkan.
"Persoalannya tetap Eropa terhadap Pribumi, Minke, terhadap diriku. Ingat-ingat ini: Eropa yang menelan Pribumi sambil menyakiti secara sadis. Eropa hanya kulitnya yang putih, hatinya bulu semata"
(hal.489, Sanikem)
"Pada saat itu juga aku mengerti, kami akan kalah dan kewajiban kami hanya melawan, membela hak-hak kami, sampai tidak bisa melawan lagi---seperti bangsa Aceh di hadapan Belanda menurut cerita Jean Marais"
(hal.493, Minke)