"Saya tidak ingin menyakiti hati Bu Mirna, meskipun saya belum pernah bertemu beliau."
"Untuk itulah saya ingin mengajakmu bertemu dengan seorang Ustadz dan istrinya mereka sahabat baik saya di Bogor sekaligus ziarah ke maqam guru ngaji saya yang letaknya tak jauh dari pondok pesantren tempat mereka tinggal."
"Jadi perjalanan kali ini bukan untuk urusan pekerjaan?"
"Bukan, dan saya minta maaf karena tidak memberi tahu sebelumnya."
Sepanjang perjalanan aku lebih banyak diam, hanya mendengarkan penjelasan bagaimana keseriusan niatnya menikahiku.
"Dinda, saya ingin kamu bahagia. Panggil saya Abi dan panggil Bu Mirna dengan sebutan Ummi seperti Putri memanggil kami."
"Baik Pak Adam, eh Abi maksud saya."
"Nah seperti itu terdengar lebih baik." ucapnya setengah menggodaku. Sejak awal pembicaraan aku merasa ada yang berbeda, suara Pak Adam terdengar lebih lembut dari biasanya. Membuat aku berusaha keras untuk tidak terhanyut oleh kelembutannya.
Sesampai di Bogor kami disambut oleh Ustadz Khaerul dan istri beliau yang menerimaku dengan baik. Ummu Asiyah begitu beliau memperkenalkan diri, ia adalah istri ketiga Ustadz Khaerul yang usianya tidak jauh berbeda dengan usiaku. Setelah beberapa saat melepas lelah petang itu aku diajak ke sebuah majelis kajian. Entah sengaja dipersiapkan atau kebetulan pada kajian itu panjang lebar membahas hukum Islam dan segala sesuatu yang tentang pernikahan tak terkecuali mengupas pandangan Islam tentang poligami.
Subahanallah takjub dan salut kepada perempuan-perempuan yang bisa ikhlas menerima dan menjalani poligami. Apakah aku akan mencapai tingkat ketaatan dan keikhlasan seperti mereka? Betapa mulia perempuan-perempuan yang rela membagi hati dan cintanya dengan perempuan lain.
Sejak kepulangan kami dari Bogor banyak yang berubah terutama sikap dan perhatian Abi yang semakin bertambah. Entahlah mungkin aku pun sudah mulai menerima kehadiran dia dalam hidupku. Tentu dengan sikap profesionalku tetap menjaga nama baiknya di depan semua klien dan karyawan yang lain.