Mohon tunggu...
Aditya Salim
Aditya Salim Mohon Tunggu... Konsultan - Law enthusiast

Write to educate

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Napak Tilas

23 April 2019   01:11 Diperbarui: 23 April 2019   04:12 184
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya bukan warga negara Amerika, tapi masuk ke gedung-gedung tersebut rasanya muncul rasa kebangsaannya. "Ah lo aja yang ga bener-bener serius ke museum atau perpustakaan, cuma mau museum yang bagus doang!" lah, ya bagaimana tidak. Saya ini manusia yang akan tertarik dengan informasi. Informasi yang kaya, jelas, rinci, berurut dan interaktif. Susah bagi saya tertarik dengan tampilan gambar atau artefak dengan sekotak penjelasan disampingnya tok atau ke perpustakaan yang nyari bukunya saja susah ketemu.

Tapi 6 jam bisa jadi begitu sedikit dan cepat buat saya kalau ada di sebuah museum seperti Holocaust Museum atau berbagai war memorial museum yang sudah saya datangi di berbagai negara. Baru masuk saja rasanya sudah seperti kembali ke tahun 1920-an. Teknik pewarnaan dinding dan tampilan koleksi. Teknik sorot, warna dan tingkat terang lampu. Komposisi suara, gambar, artefak dan teks. Teknik penyusunan informasi sesuai kronologi. Semua itu dipikirkan secara serius oleh Holocaust Museum yang masuknya gratis. 

Amerika Serikat bukan negara yang langsung terdampak oleh rezim NAZI, seperti bangsa Jewish, tapi dengan menelusuri 4 lantai museum itu, saya bisa paham betul nuansa mulainya rezim NAZI sampai ke Nuremberg Trial. Kok bisa punya koleksi sampai sebegitunya? Sampai sepatu milik korban-korban Hitlerpun ada! Luar biasa betul peran-peran sejarahwan dalam mengkonsep museum yang begini.

Makam-makam prajurit tempur Amerika Serikat di World War II pun masih tegak nisannya dan rapi rumputnya di Arlington Cemetery. Batu nisan dari mereka yang lahir tahun 1793 pun kok masih bersih seperti baru dipasang 2 tahun lalu.

20190420-143427-resized-5cbe2e35a8bc1503e455c204.jpg
20190420-143427-resized-5cbe2e35a8bc1503e455c204.jpg
Dokpri
Dokpri
Mungkin cukup nuansa provokasinya. Bukan saya membenci kondisi perpustakaan dan museum di tanah sendiri, tapi itu cerminan langsung dari bagaimana sebuah bangsa menghargai ilmu pengetahuan, substansinya dan tokohnya. Memang masih jauh, tapi kita belum terlambat. Perpustakaan Nasional sepertinya masih bisa lagi diisi dengan berbagai koleksi berharga sejarah Indonesia yang mungkin tersembunyi di sebuah lokasi di negeri ini atau di negeri lain. Museum-museum pun juga demikian. Kita masih bisa menyusul!

Tapi saya baru jadi mikir. Mereka-mereka disini bangga bekerja menjadi libraran atau kurator museum. Di Indonesia kalau kita mau menyusul, banyak tidak ya orang yang akan bangga menjadi librarian atau kurator museum?

Hal unik lain yang bagi saya penting untuk saya bagikan, Negeri ini suka sekali menaruh quotes di macam-macam public venue. "suka" ini bukan berarti kadarnya rendah, tapi mereka benar-benar memaknai quotes itu. Remeh kelihatannya, tapi bukan main saya bergidik waktu membaca lagi kalimat-kalimat itu. Betul memang words is powerful. 

Kalimat-kalimat yang penuh dengan nilai-nilai kebangsaan, demokrasi, dan kemanusiaan. Kalimat-kalimat yang bahkan membuat seorang anak kecil bertanya ke ibunya, "so we help them (the jews) mom?" setelah melihat quotes-quotes Presiden F.D. Roosevelt dan Presiden Truman di Holocaust Museum sewaktu NAZI merajalela.

Dokpri
Dokpri
Dokpri
Dokpri
Begini kan bentuk konkrit menumbuhkan rasa cinta terhadap bangsa sendiri?

Veteran perang secara rutin dibawa ke Arlington Cemetery. Mereka diberikan kesempatan dan tempat untuk menghargai rekan-rekannya yang gugur. Di lahan yang begitu luas, pengunjung begitu respect dan silent, selaras dengan nuansa damai dan nasionalis sebuah pemakaman, bukan suasana horor.

Entah. Saya bukan master segala ilmu. Jawaban klisenya adalah masyarakat harus lebih memiliki sikap menghargai ilmu pengetahuan, substansinya dan tokoh-tokohnya. Pemerintah harus lebih mengalokasikan dana untuk pengelolaan ilmu pengetahuan. Saya rindu bisa betah berjam-jam di perpustakaan publik dan museum di Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun