Andai saja assessment online ini dilaksanakan dengan metode dipanggilnya para peserta ke dalam ruangan khusus, dengan dilengkapi pengawas dan sistem komputer yang aman, maka tentu tidak ada celah untuk dapat mempertanyakan assessment online karena dipastikan bahwa pendaftar sendirilah yang mengerjakan tes dimaksud dan tidak dengan sarana bantu.
2. Selanjutnya, beberapa orang psikolog yang kami wawancarai menyatakan bahwa alat ukur assessment online memiliki banyak celah kekurangan, antara lain: (i) hanya dapat memberikan gambaran yang umum mengenai kepribadian seseorang; (ii) berpotensi diselesaikan dengan metode for good (menjawab sesuai ekspektasi bukan dengan kondisi yang sebenarnya). Maka pertanyaan kemudian adalah apakah dengan 220 pertanyaan, maka LPDP bisa memiliki gambaran utuh terhadap kepribadian dan value seseorang?
Lagi berdasarkan keterangan psikolog, alat ukur seperti yang digunakan dalam assessment online sebaiknya dijadikan referensi dalam sebuah proses seleksi dan bukan sebagai eliminator. Alat ukur kuantitatif dan kualitatif sama-sama memiliki kekurangan, sehingga untuk dapat mencapai hasil optimum sebuah psikotes, maka sedapat mungkin alat ukur kuantitatif dan kualitatif digunakan secara bersamaan sebelum diambil keputusan akhir.
Sampai tahap ini, maka patut untuk direnungkan kembali jawaban terhadap pertanyaan apakah telah tepat guna dan berhasil guna belanja 2,3 miliar rupiah yang dilakukan instansi LPDP saat LPDP sepertinya sulit untuk dapat memastikan bahwa pendaftar sendirilah yang benar-benar mengerjakan sendiri tes dan tanpa sarana bantu, serta alat ukur yang digunakan belum memenuhi kondisi ideal sebuah psikotes?
3. LPDP menetapkan skor minimum 575 (quantitative) bagi setiap peserta untuk dapat lolos ke tahapan berikutnya yaitu seleksi substansi. Dengan demikian kandidat yang memiliki kriteria yang "sesuai" menurut LPDP adalah mereka yang memiliki nilai 575. Penetapan sebuah batas nilai minimal adalah hal yang memang selayaknya dilakukan oleh sebuah penyelenggara tes. Namun demikian, pada konteks ini, dimana "ujian" yang diberikan kepada peserta terbatas pada nilai dan value, maka perlu dipertanyakan apakah 575 itu? Seberapa besar relevansinya dengan kemampuan dari para pendaftar untuk dapat menyelesaikan studinya?
4. Sebagaimana yang telah disampaikan diatas, pernyataan yang diajukan kepada para peserta di tes 15FQ+ maupun VMI adalah pertanyaan seputar nilai dan kepribadian. Mengapa tes yang menyangkut kemampuan intelejensia (IQ, logika, kreativitas), yang notabene masuk dalam ruang lingkup psikotes, misalnya tes wartegg, tes pauli, IQ test, tidak diberikan kepada para pendaftar BPI sebelum akhirnya diputuskan lolos atau tidak lolos? Apakah values & motivesmutlak menjadi satu-satunya hal yang penting bagi LPDP untuk meloloskan peserta? Padahal, dalam konteks beasiswa untuk studi jenjang magister dan/atau doktoral, bukankah mengetahui kemampuan intelijensia merupakan hal penting?
Kembali kami sampaikan, tulisan ini berusaha mengajak para pembaca, terlepas dari status awardee, alumni, atau instansi LPDP untuk, secara objektif dan berdasarkan keilmuan psikologi, merenungkan kembali penggunaan sistem assessment online yang dilaksanakan dengan bebas kontrol dan hasilnya menjadi eliminating factor.
PRO dan KONTRA
1. Efisiensi
Saat memulai gerakan ini, kami juga berusaha untuk memahami perspektif LPDP hingga menggunakan assessment online. Banyaknya pendaftar, lokasi domisili pendaftar, efisiensi anggaran, efektivitas menyaring jumlah peserta, dan lain-lain mungkin merupakan hal-hal yang menjadi pertimbangan digunakannya assessment online untuk menggugurkan peserta. Namun, jika dipikirkan secara lebih mendalam, apakah alasan-alasan tersebut sebanding dengan potential lossyang akan diterima LPDP?Â
Kita semua mengetahui bahwa belanja utama dari LPDP adalah biaya studi para awardee, sehingga patutlah jika dalam menyelenggarakan seleksi, LPDP menggunakan sebuah sistem yang memiliki resiko seminimal mungkin. Salah seorang psikolog yang kami wawancarai mengatakan bahwa efisiensi dalam menyelenggarakan seleksi harus tetap diletakkan pada hakikatnya, yaitu pengurangan effort/cost tanpa memberikan resiko pada tercapainya optimum output.