Mohon tunggu...
Aymara Ramdani
Aymara Ramdani Mohon Tunggu... Administrasi - Orang yang hanya tahu, bahwa orang hidup jangan mengingkari hati nurani

Sebebas Camar Kau Berteriak Setabah Nelayan Menembus Badai Seiklas Karang Menunggu Ombak Seperti Lautan Engkau Bersikap Sang Petualangan Iwan Fals

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Buku Suluk Gunung Jati

21 September 2016   12:18 Diperbarui: 21 September 2016   12:27 418
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
cover buku Suluk Gunung Jati

Sinopsis:

          “Kau adalah kujang mungil, ditempa dari wesi kuning, dari bumi Sunda berada, melanglang menunjuk langit,” getar nini paraji yang mengiringi sukma dan asma Syarif Hidayatullah. Ia kemudian menjelma menjadi seorang raja yang juga ulama–kelak dikenal sebagai Sunan Gunung Jati–meneruskan jejak para leluhur. Bila langkah Nyimas Rarasantang–ibunda Sunan Gunung Jati–melakukan perjalanan spiritual mencari Nur Muhammad dimulai dari Keraton Pajajaran – Amparan Jati – Pasai – Campa – Mekkah, Sunan Gunung Jati menempuh dari arah sebaliknya. Pertemuan dengan Sunan Ampel merupakan titik awal pembagian daerah dakwah, sekaligus upaya rekonsiliasi Sunda-Jawa pasca Perang Bubat.

          Bagaimana Sunan Gunung Jati menghadapi eyangnya sendiri di Pakuan Pajajaran yang berbeda keyakinan? Nglurug tanpa bala kalah tanpa ngasorake dan desa mengurung kota, langkah yang kemudian ditempuhnya. Langkah ini tidak saja berhasil menyebarkan Islam kepada leluhur, tapi juga memperkuat barisan pertahanan. Sehingga ketika medan jihad terbuka, laskar Islam di bawah komandonya, tidak saja berhasil mengusir Portugis tapi sekaligus meruntuhkan Pakuan Pajajaran.

Sikapnya sebagai pandhita ratu terlukis kuat saat menghadapi ulama kontroversial–Syaikh Siti Jenar. Ketika Syaikh Siti Jenar diundang ke Cirebon dan mengatakan: ‘Tidak ada Siti Jenar, yang ada Gusti Allah’, Sunan Gunung Jati pun membalas: ‘Ya sudah panggil Gusti Allah ke sini.’ Kekerabatan kedua ulama ini tidak semata terikat oleh Syaikh Nurjati–pamanda Syaikh Siti Jenar–tapi buah dari saling memahami ajaran yang berbeda. Sunan Gunung Jati termasuk yang ‘pasang badan’ pada saat Dewan Wali hendak ‘mengadili’ Syaikh Siti Jenar.

“Kau bicara seperti itu kepada santri-santrimu?”

“Tentu saja, karena ilmu ruhani harus diajarkan kepada semua orang. Dengan membuka tabir itulah orang-orang akan mengetahui hakikat kehidupan dan rahasia hidupnya.”

“Kalau badan tidak ada sementara yang aku lihat adalah badan, siapa sesungguhnya yang sedang bicara denganku sekarang ini?” pancing Sunan Gunung Jati.

“Aku mengajarkan ilmu agar manusia benar-benar dapat merasakan kemanunggalan. Selain kemanunggalan hanyalah bangkai”, ujar Syaikh Siti Jenar

          Suluk secara harfiah berarti menempuh (jalan). Dalam kaitannya dengan Agama Islam dan sufismekata suluk berarti menempuh jalan (spiritual) untuk menuju Allah. Menempuh jalan suluk (bersuluk) mencakup sebuah disiplin seumur hidup dalam melaksanakan aturan-aturan eksoteris agama Islam (syariat) sekaligus aturan-aturan esoteris agama Islam (hakikat).

Ber-suluk juga mencakup hasrat untuk Mengenal Diri, Memahami Esensi Kehidupan, Pencarian Tuhan, dan Pencarian Kebenaran Sejati (ilahiyyah), melalui penempaan diri seumur hidup dengan melakukan syariat lahiriah sekaligus syariat batiniah demi mencapai kesucian hati untuk mengenal diri dan Tuhan.

          Kata suluk berasal dari terminologi Al-Qur'an, Fasluki, dalam Surat An-Nahl [16] ayat 69, Fasluki subula rabbiki zululan, yang artinya Dan tempuhlah jalan Rabb-mu yang telah dimudahkan (bagimu). Seseorang yang menempuh jalan suluk disebut salik.

          Kata suluk dan salik biasanya berhubungan dengan tasawuf, tarekat dan sufisme. (wikipedia)

          Bagi para pencari tuhan, ada empat jalan untuk menempuhnya, Syariat, Tarekat, Hakikat dan Ma'rifat. ke 4 itu merupakan satu-kesatuan yang tidak bisa kita tinggalkan. dan itu bersinergi satu dengan yang lainnya. nah berkait dengan buku Suluk Gunung Jati ini, Penulisnya yaitu kang Enang Rokajat Assura, yang juga merupakan penulis buku yang sangat produktif, beberapa karyanya antara lain.

Prabu Siliwangi, Wangsit Siliwangi, Soedirman; Kupilih Jalan Gerilya, Jugun Ianfu, Siapa Pengkhianat Pangeran Diponegoro. dan masih banyak lagi. KAng enang memaparkannya begitu mengalir, seperti yang di katakan oleh Nadirsyah Hosen, Rais Syuriah PCI Nahdlatul Ulama (NU) Australia – New Zealand dan dosen senior di Fakultas Hukum, Monash University.

           "Saya harus berulangkali meyakinkan diri saya bahwa yang saya baca ini ‘Cuma’ sebuah novel. Tapi nyatanya saya tidak bisa menghindar bahwa ini bukan ‘sekadar’ novel. Banyak pelajaran kehidupan yang diceritakan mengalir begitu saja, menyajikan kisah tanpa batas pemisah, dan membuat kita merenung tanpa harus duduk termenung. Sosok Sunan Gunung Jati menjadi terasa begitu akrab selepas membaca buku ini.”

Pun demikian dengan Anis Sholeh Ba’asyin, budayawan dan pengasuh Suluk Maleman

          “Menenggelamkan! Menyusuri perjalanan Sunan Gunung Jati dalam besutan E. Rokajat Asura ini begitu menghanyutkan kesadaran spiritual kita. Kita dibawa ke tengah samudera hikmah yang makin membangkitkan semangat keislaman, bersuluk mengikuti jalur- jalur yang dilalui Sunan Gunung Jati. Meski sebuah novel, tapi pijakan historisnya cukup meyakinkan dan hamparan narasinya makin meneguhkan bahwa khasanah Islam Nusantara begitu indah dan mberkahi.”

Selamat membaca buku yang renyah ini.

Aymara

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun