Mohon tunggu...
Aymara Ramdani
Aymara Ramdani Mohon Tunggu... Administrasi - Orang yang hanya tahu, bahwa orang hidup jangan mengingkari hati nurani

Sebebas Camar Kau Berteriak Setabah Nelayan Menembus Badai Seiklas Karang Menunggu Ombak Seperti Lautan Engkau Bersikap Sang Petualangan Iwan Fals

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Pendakian Gunung Prau; Golden Sun Rise dengan Hamparan Bunga Daisy dan Bukitnya

11 Juni 2013   14:03 Diperbarui: 24 Juni 2015   12:12 7070
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_266946" align="aligncenter" width="640" caption="Apika Senior dalam kesendiriannya"]

1370933449933563123
1370933449933563123
[/caption]

Oh ya, ku beri tahu satu hal kawan, bahwa pada malan itu Gunung Prau adalah milik kami, ya karena hanya kami yang ada disana. “Apika senior” (tenda), kenapa aku bilang demikian karena “apika junior” masih di dd Iis. Aku dan Mas Pii. Di puncak itu lagi-lagi kami berseloroh, “Apa engga kaya, kita” “rumah kita punya, bahkan sangat luas halamannya, bahkan pintunya pun bisa kita arahkan persis ke depan Gunung Sindoro dan Sumbing”, “atap kita bermilyar gemintang yang kadang-kadang ia memainkan cahayanya”, Kadang ada bintang yang jatuh, dan langsung aku berteriak “Aku ingin hidup pas-pasan” eits jangan salah tafsir dulu, pas-pasan ini makna hakiki kawan. Pas aku mau hiking pas aku ada waktu, tenaga dan tiket. Pas aku mau traveling, pas aku dapet tiket promo dan ada uang. Pas aku mau beli rumah pas aku dapat undian rumah gratis..hahahaha. intermezzo kawan. Jangan terlalu serius ah.

Segera kami mendirikan tenda dalam keheningan gunung Prau ini, beres, memasak dan ritual narkopian pastinya tak ketinggalan, lalu lanjut ngobrol ngalor ngidul, oh iya di sini juga, akhirnya aku merasakan kentang merah, kentang ajaib itu, ya kenapa kentang ini ajaib? Karena walaupun bibit yang kita tanam itu adalah kentang merah, namun tetap saja jika panen, tidak melulu itu kan menghasilkan kentang merah, ya tetap saja yang dominan kentang kuning, ia hanya berbuah sekira 1-5 pohonnya saja, ajaibkan kawan.

Ketika hembusannya sudah mulai menjalari kulit kami, dan rasa dingin mulai menyerang, aku masuk tenda dan zzzzzzzttttt. Nyenyak sekali aku tidur, pagi jam 05.00 aku terbangun dan menikmati rasa dingin ini, melihat moment pagi di puncak prau sendirian, mas Pii masih tertidur dengan nyenyaknya. Aku coba melihat lembayung itu, sinar jingganya masih belum terlihat, gelap suasana pagi itu membuat aku harap-harap cemas, apakah aku akan mendapatkan moment matahari terbit, matahari yang memberikan kehangatan dan pencerahan kepada semua makhluk hidup di dunia ini.

[caption id="attachment_266953" align="aligncenter" width="640" caption="apika, sunrise dan aku"]

13709337431715197271
13709337431715197271
[/caption]

Perlahan namun pasti, sinar jingga itu keluar, sedikit samar dan temaram, namun itu adalah tanda bahwa moment dimana matahari akan keluar sempurna akan jelas terlihat. Aku perhatikan terus kawan, moment itu negitu indah, matahari telah bangun dari peraduannya kini.

[caption id="attachment_266951" align="aligncenter" width="640" caption="Sunrise 1"]

13709336951088474910
13709336951088474910
[/caption]

Sinar jingga, bahkan kemerahan memantulkan cahayanya berbaur dengan suasana pagi itu dan dengan awan yang putih, ia menghasilkan sebuah corak yang luar biasa, abstrak namun jelas dan indah. Semua moment itu aku abadikan dalam senjata pamungkasku dan dalam memori otakku.

[caption id="attachment_266950" align="aligncenter" width="560" caption="Mata Dewa memancakan sinarnya"]

13709336201292234905
13709336201292234905
[/caption]

[caption id="attachment_266955" align="aligncenter" width="640" caption="sun rise 3"]

13709338202065724548
13709338202065724548
[/caption]

Aku menikmati itu semua kawan. Moment itu begitu syahdu,indah dan damai. hati kecil ini berguman betapa kuasa tuhan itu luas biasa, menciptakan lukisan dengan indahnya, namun jika alam itu murka, gunung itu meletus, tanah itu longsor, keindahan itu tak terlihat yang ada adalah kejam dan bengisnya alam ini. tapi alam murka itu bukan kehendaknya, namun harus di ingat ia murka karena tangan jahil kita juga, badut-badut serakah juga yang membabat habis hutan kita, tanah sebagai resapan air beruabah menjadi villa dsb.

Setelah puas menikmati alamnya dan puas juga mengeluarkan uneg-uneg di dada, aku segera packing untuk turun melalui Jalur Dieng, tepatnya nanti aku akan turun di gerbang SLTP 2 Kejajar. Kembali ke alam nyata, kembali menghadapi rutinitas  dengan kebisingan kota dan hiruk pikuk poltik yang semakin absurd dan tidak jelas. Untuk menghilangkan itu semua aku berdendang lagu Bang Iwan

Dari gunung ke gunung

Menembus lembah kabut dan jurang

Melewati hutan pinus

Melewati jalan setapak

Mendengar gesekan daun dan burung-burung

Menikmati aroma tanah dan segarnya udara

Jauh dari kebingungan sehari-hari

[caption id="attachment_266957" align="aligncenter" width="648" caption="eaaaaaaa. loncatan yang sakti"]

1370933909376401138
1370933909376401138
[/caption]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun