Menemukan penjual sup matahari dan selat solo di pinggiran kota Solo bisa dibilang tidak mudah tapi juga tidak sulit.
Penjual penganan yang satu ini memang tak sebanyak bakso maupun soto yang mudah saja ditemukan di pinggir jalan. Mungkin karena biasanya kedua menu ini lebih sering dipakai pada acara hajatan seperti pernikahan maupun perayaaan tertentu dan bukan menu harian.
Kalau pernah menghadiri acara pernikahan di kota Solo dan sekitarnya pasti sudah tidak asing dengan kedua menu ini. Keduanya kerap menjadi hidangan dalam acara pernikahan Solo baik yang berkonsep "piring terbang" maupun prasmanan.
Tradisi "piring terbang" adalah cara penyajian makanan dengan model tamu undangan diladeni (dijamu) oleh para sinoman. Dalam tradisi ini para tamu tak perlu repot-repot berdiri untuk mengambil makanan. Mereka hanya perlu duduk dan para sinoman akan datang menghampiri untuk menjamu.
Proses menjamu makanan dan minuman berkonsep "piring terbang" terdiri dari beberapa tahap yang dikenal dengan istilah USDEK (Unjukan, Sop, Dhaharan, Es, Kondur).Â
Unjukan berarti para sinoman akan menyajikan minuman, Sop berarti para sinoman akan memberi sup, Dhaharan artinya sinoman akan memberikan menu utama (nasi dan lauk pauk), Es artinya sinoman akan menyajikan es (bisa es buah atau es campur) dan Kondur yang artinya tamu dipersilakan untuk pulang.
Ada beberapa macam sup yang biasa disajikan di antaranya sup manten, sup matahari, timlo dan selat. Semua tergantung selera dan keinginan yang punya hajat.
Sup matahari sendiri tampilannya terlihat lebih menarik dibanding yang lain. Seperti namanya, sup bunga matahari berbentuk seperti bunga matahari. Isiannya antara lain irisan jamur kuping, parutan wortel, jamur salju, irisan sosis serta daging cincang yang sudah dikukus. Semua isian tadi dibungkus dengan menggunakan kulit telur dan disiram kuah kaldu.
Sementara selat solo disebut juga salad jawa karena terdiri dari perpaduan antara bistik dan salad. Selat sendiri berasal dari kata "slachtje" yang artinya salad. Menu yang satu ini memang andalan pernikahan bahkan menjadi salah satu menu dalam pesta pernikahan Kaesang Pangarep beberapa tahun lalu.
Selat solo lahir di jaman kolonial. Menurut beberapa sumber menu ini diciptakan untuk suguhan pertemuan antara pihak Keraton dan Belanda.
Penyajian menu Belanda dengan Keraton Solo tentu sangat berbeda. Orang Belanda lebih sering menggunakan daging dengan irisan besar dan setengah matang sementara orang Solo lebih terbiasa dengan sayuran.
Untuk menjembatani kebutuhan keduanya dibuatlah menu salad lokal yang isinya olahan daging yang dipadukan dengan kuah manis berwarna cokelat. Menu ini juga dilengkapi dengan telor bumbu manis, irisan wortel, buncis, timun serta kentang goreng.
Sewaktu liburan ke Solo saya sempatkan untuk mencoba kedua menu ini. Padahal sudah 9 tahun menikah dengan orang Solo tapi belum pernah menjajal keduanya, malu rasanya. Karena kami ada di kabupaten Sukoharjo maka kami mencoba mencari penjual yang lokasinya paling dekat.
Berdasarkan rekomendasi dari saudara dan keluarga, ada sebuah warung makan yang menjual aneka menu solo seperti yang sedang kami cari. Kami pun mencoba mendatanginya.
Rupanya tidak mudah menemukannya, lokasinya tidak berada di jalan besar tapi di teras sebuah rumah tak jauh dari alun-alun Sukoharjo. Namanya "Yun Selat".
Tempatnya sederhana layaknya warung biasa hanya saja sedikit luas karena memang rumah-rumah di daerah itu punya teras atau halaman yang cukup luas. Tak ada seorangpun pelanggan ketika kami datang. Hanya ada 2 orang penjaga perempuan yang terlihat menyambut kami dengan gembira.
Mungkin karena kuliner ini bukan termasuk makanan sehari-hari sehingga masyarakat sekitar jarang mengkonsumsinya. Saudara saya yang memberi rekomendasi pun tidak tinggal di Solo hanya saja setiap pulang kampung selalu menyempatkan waktu untuk mampir ke tempat itu.
Kami memesan selat, sup matahari, semangkuk nasi, segelas es teh manis dan segelas es jeruk. Saya melihat salah satu perempuan tersebut mengambil sebuah gundukan dari dalam kulkas. Rupanya itu yang disebut-sebut mataharinya. Setelahnya ia membuka cangkang agar terlihat seperti matahari lalu menghangatkannya.
Tak selang lama, kedua hidangan itu pun tersaji di meja kami. Selat yang kami pesan sudah sedikit berantakan. Beberapa topping terlihat tenggelam ke dalam kuah. Sup mataharinya pun cangkangnya tidak begitu rapi. Tapi semua itu kami maklumi, yang penting kan rasanya.
Kuah supnya benar-benar seperti sayur sup hanya saja isi bunga mataharinya cukup bervariasi sehingga memanjakan lidah. Jamu kuping dan jamur salju membawa sensasi kenyal ketika di gigit. Aroma wortel lumayan pekat dan daging ayam giling yang letaknya paling bawah menambah kemewahan rasa dari sup ini.
Berbeda dengan sup yang berkuah segar, selat Solo yang kami pesan berkuah encer dan rasanya manis. Komposisinya persis seperti makan steak tapi pakai kuah encer. Menu utama dari selat yang saya pesan berupa olahan daging yang terlihat seperti galantin.
Memang ada beberapa jenis untuk menu utama, ada yang memakai daging giling, irisan daging atau galantin seperti yang saya pesan tadi tapi menurut suami saya, yang sering dipakai di acara hajatan di daerahnya adalah selat galantin.
Kedua menu tersebut dikonsumsi tanpa nasi seperti halnya ketika disajikan diacara pernikahan namun bagi mereka yang kurang kenyang dan mau menambahkan nasi tentu tidak dilarang.
Yah, pada akhirnya saya bisa mencicip menu sajian pernikahan tersebut di sebuah warung rumahan di daerah pinggiran kota Solo dengan harga murah meriah. Total yang harus kami bayar hanya 37 ribu rupiah. Murah sekali! Ya Tuhan, seketika saya ingin pindah ke Solo, tapi gaji Jakarta, haha.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H