Di perusahaan tempat saya bekerja dulu proses resign yang saya lalui cukup panjang, mulai dari pengajuan dari jauh-jauh bulan, menunggu pengganti sampai dapat (untuk transfer pekerjaan) hingga perayaan-perayaan kecil sebagai bentuk perpisahan.
Ya itu terjadi puluhan tahun lalu ketika saya masih bekerja di salah satu industri garmen. Sudah menjadi rahasia umum kalau perusahaan garmen punya turn over karyawan yang sangat tinggi. Berdasar data yang beredar, di tempat kami angkanya bisa mencapai 200 karyawan per bulan.
Tak perlu heran, perusahaan kami termasuk garmen yang terbesar se Asia Tenggara dan punya banyak anak perusahaan. Jangan ditanya, HRD sudah pasti harus bekerja ekstra keras setiap hari untuk menutupi kekosongan tersebut.
Saya sendiri tergabung di departemen accounting lebih tepatnya sebagai stock accounting. Setelah kenyang menimba ilmu di garmen selama kurang lebih 3.5 tahun saya pun memutuskan untuk resign. Tak perlu diceritakan detail alasannya karena tulisan ini lebih membahas perayaannya.
Soal resign lain departemen lain perayaan tentunya tapi yang biasa terjadi di departemen accounting sedikit berbeda. Jumlah total karyawan di departemen akunting ada sekitar 45 karyawan terdiri dari tax, finance, stock accounting, dead stock, dll.
Ketika ada karyawan yang mau resign maka departemen akan menarik uang kas anggaplah sekitar Rp. 600 hingga 700 ribu untuk kenang-kenangan (nominal sekitar 10 tahun lalu). Kalau kondisi kas sedang tidak baik maka akan diminta kesediaan untuk iuran.
Tak ada aturan tertulis atau kewajiban untuk mentraktir tapi belajar dari teman-teman yang resign sebelumnya mereka biasanya akan mentraktir snack untuk satu departemen.Â
Mereka memesan snack dengan isian sebanyak 4 atau 5 pcs di toko roti yang ada di dekat kantor pusat. Toko roti ini cukup terkenal di daerah Semarang dan sekitarnya. Rasanya enak dan harganya lumayan terjangkau. Satu paket snack di tahun itu mungkin sekitar Rp. 10 hingga 15 ribu rupiah.
Ketika saya resign saya harus memperhitungkan banyak hal. Kalau untuk traktir makan satu departemen tentunya sulit dilakukan mengingat saya bekerja di lokasi cabang dan cukup jauh dari kantor pusat.
Di kantor cabang sendiri saya di tempatkan di gudang sehingga secara kedekatan jarak, saya terhitung lebih dekat dengan orang-orang gudang ketimbang orang dari departemen accounting sendiri.
Memikirkan perayaan artinya saya juga harus memperhitungkan keberadaan orang-orang gudang, teman satu profesi (stock accounting), teman-teman produksi yang terlibat langsung dengan pekerjaan saya setiap hari.
Ketika resign rupanya tak hanya teman-teman satu departemen, teman-teman dari gudang dan produksi pun memberi saya kenang-kenangan. Saking banyaknya, di hari terakhir kerja saya justru seperti orang yang sedang berulang tahun.
Sebagai ganti kebaikan mereka saya pun mengatur strategi perayaan. Pertama untuk karyawan gudang dan beberapa karyawan dari departemen lain yang kalau dijumlah mungkin sekitar 10-15 orang.
Saya ajak mereka makan di warung nasi padang yang terletak di depan pabrik. Pilihan ini saya rasa paling tepat mengingat kami hanya punya waktu saat makan siang dan sulit mengumpulkan mereka di luar jam kerja.
Untuk bestie-bestie terdekat dan sesama stock accounting sekitar 5-6 orang (saya lupa) saya ajak makan steak. Hal ini karena kami perlu tempat mengobrol yang lebih lama untuk meninggalkan kenangan manis. Terakhir untuk seluruh teman-teman di departemen accounting saya pesankan snack box sebanyak kurang lebih 45Â box ke tetangga.
Memesan snack ke tetangga tentu harganya jauh lebih murah dibanding ke toko roti tapi soal rasa tentu tidak kalah enak. Isiannya saya sesuaikan dengan teman-teman yang resign lebih dulu. Agar lebih terjangkau saya juga mengantar sendiri box-box tersebut ke kantor pusat dengan membawa motor.
Kalau ditotal-total jumlahnya kurang lebih separuh gaji sendiri. Sebetulnya perayaan seperti ini tidak diwajibkan dan teman-teman pun tidak diminta traktir atau bagaimana hanya saja mungkin pertama sudah jadi kebiasaan yang berulang-ulang.
Kedua karena sudah menerima banyak kenang-kenangan dari teman-teman saya jadi merasa sungkan sendiri. Setidaknya perayaan itu dilakukan untuk menjaga hubungan baik kami meski sudah tidak bekerja di satu perusahaan yang sama.
Jadi sebenarnya perayaan itu faktor utamanya adalah kebiasaan. Jika satu orang membeli donat maka seterusnya akan ditiru. Mereka tidak berani berspekulasi untuk memberi jenis makanan yang berbeda. Daripada salah, daripada dinilai tidak bagus lebih baik disamakan saja, begitu pikirnya.
Apakah hal-hal seperti itu perlu? Menurut saya itu tergantung situasi dan kondisi masing-masing. Untuk masa kerja 3.5 tahun dengan 6 hari kerja seperti yang saya alami tentunya sudah banyak ikatan yang terbentuk. Ketika ikatan itu harus dilepas tentu harus dengan cara yang baik.Â
Toh misal di luar pekerjaan masih ada kemungkinan untuk bertemu atau bahkan menjadi teman dekat. Tapi beberapa teman yang masa kerjanya cuma sebentar banyak juga yang tidak melakukan itu dan it's fine.
Yang menjadi masalah adalah ketika hal-hal semacam ini mulai distandarkan. Misal jadi bahan gunjingan kalau seseorang tidak mau mentraktir seperti yang sebelumnya atau ditraktir tapi tidak semahal atau sebagus yang sebelum-sebelumnya.
Padahal kalau dipikir-pikir orang yang resign belum tentu menuju ke ekonomi yang lebih baik. Bisa jadi ia resign tapi belum dapat kerja yang baru dan harus menganggur selama beberapa bulan. Bukankah lebih baik uang tersebut mereka pakai untuk bertahan hidup sampai dapat pekerjaan baru?
Ya intinya mau membuat perayaan atau tidak itu terserah dari orang yang mau resign sementara tugas kita adalah tidak menstandarkannya agar mereka tidak terbebani.Â
Mungkin itu hadiah terbaik yang bisa kita beri untuk teman kita yang resign dan menempuh perjalanan karir baru. Selain doa, dukungan terbaik adalah tidak memberatkan langkah mereka dengan tuntutan-tuntutan perayaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H