Mohon tunggu...
Ire Rosana Ullail
Ire Rosana Ullail Mohon Tunggu... Lainnya - irero

Blogger yang sedang mencari celah waktu untuk membaca buku | email : irerosana@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Music Artikel Utama

Memasuki Mesin Waktu dengan Menonton Konser Band Lawas

4 November 2024   19:59 Diperbarui: 7 November 2024   12:44 173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber : dok.pri/irerosana

"I can see the pain living in your eyes
And I know how hard you try
You deserve to have so much more
I can feel your heart and I sympathize
And I'll never criticize all you've ever meant to my life"

Begitu mendengar penggalan lirik Air Supply berjudul "goodbye" ini -atau bahkan hanya sekadar intronya saja- saya yakin para generasi X dan gen milenial langsung terasa traveling ke masa lalu, mungkin ke masa ketika masih berseragam putih abu-abu atau ke kejadian-kejadian di masa tertentu.

Lagu dan musik adalah cara terbaik untuk mengikat kenangan. Itulah yang saya rasakan ketika menonton konser MLTR dan Air Supply beberapa waktu lalu di BCIS Ancol. Setiap mendengar musik dan lagu yang musisi lawas bawakan, saya jadi terbayang suatu kejadian di masa lalu.

Mungkin itu juga alasan ribuan orang meluangkan waktu untuk hadir dengan harga tiket yang tentunya tidak murah.

Berbeda saat menonton Bernadya yang kebanyakan gen z dan gen alpha, konser kali ini dipenuhi wajah-wajah paruh baya yang saya taksir usianya sebaya atau jauh di atas saya.

Menariknya lagi, saya melihat 3 orang penonton -yang sudah tidak muda lagi- memakai baju putih abu-abu lengkap dengan topi dan tas sekolah.

Kehadiran mereka menarik perhatian penonton lain yang sudah datang lebih dulu. Sepertinya mereka adalah kawan lama dan punya kenangan dengan lagu-lagu MLTR atau Air Supply ketika masih duduk di bangku sekolah.

Saat itu saya sadar, ternyata saya tidak hanya sedang menonton konser tapi terjebak di antara ribuan orang yang ingin kembali ke masa lalu.

Sulit menggambarkan yang saya rasakan tapi ini sungguh mengharukan. Mereka yang tumbuh di era 80 hingga 90an berada di dalam satu ruangan untuk bersama-sama kembali ke masa lalu melalui lagu.

sumber : dok.pri/irerosana
sumber : dok.pri/irerosana

Sesekali layar besar di panggung menangkap momen penonton yang ikut bernyanyi dengan penuh penghayatan. Ada keharuan di mata orang-orang itu, mungkin lagu yang sedang dimainkan punya makna mendalam bagi mereka.

Terjawab sudah mengapa mereka rela menggelontorkan uang yang tidak sedikit untuk menonton. Ini bukan soal nominal, tapi soal kenangan yang tak bisa diukur dengan nilai apapun.

Yap, bagi kami yang tumbuh di era musik band masih merajai dunia dan hiburan masih terbatas ala kadarnya, masa sekarang (baca: masa kini) adalah waktu yang tepat untuk bernostalgia.

Apalagi saya yang dulu tumbuh di desa, jangankan untuk menonton konser, untuk mendengarkan lagu kesukaan saja harus sabar menunggu diputar di radio atau kalau ingin membeli kasetnya harus rela menabung dengan tidak jajan selama berminggu-minggu.

Masa sekaranglah waktu yang tepat untuk balas dendam. Untuk bertemu dan mendengarkan langsung musisi-musisi lawas yang dulu hanya didengarkan melalui radio, kaset tape atau televisi.

Apalagi saat melihat Russell Charles Hitchcock keluar pertama kali dengan rambut penuh uban dan Graham Russell dengan kulit berkerut, saya merasa keputusan untuk menonton duo rock Air Supply itu sudah sangat tepat. Kesempatan belum tentu datang dua kali, bukan?

Banyak musisi yang ingin saya tonton tapi sudah pamit lebih dulu meninggalkan dunia ini. Contohnya Dolores O'Riordan vokalis The Cranberries atau Chester Bennington vokalis Linkin Park yang hampir 3 albumnya masih nyangkut di kepala saya.

Meski pengganti Chester, Emily Armstrong suaranya tak kalah hebat tapi rasanya tetap ada yang kurang. Mungkin bukan karena siapa yang lebih hebat tapi karakter suara Chester yang sudah terlanjur ikut terikat dengan kenangan dalam lagu-lagu Linkin Park. Hal-hal seperti ini memang sedikit disayangkan tapi tak bisa diapa-apakan.

Melihat konser dengan artis lawas membuat saya sadar bahwa masa muda perlahan-lahan berlalu tanpa pamit. Tiba-tiba saja muncul uban di kepala, tiba-tiba saja masa-masa itu berubah menjadi kenangan. Tanpa sadar juga lagu-lagu yang saya dengarkan di masa itu mengikat kenangan-kenangan tersebut ke dalam baitnya, nadanya pun melodinya.

Lalu akan muncul rasa hangat ketika mendengarkannya, sebagaimana rasa dingin dan pahit juga datang ketika sebuah lagu terasosiasi dengan peristiwa sedih atau pilu di masa lalu. Baik pahit maupun manis, pengalaman untuk bisa kembali menyelaminya terasa menyenangkan pula mendebarkan.

Rasa-rasa itu -bagi kami yang mulai beranjak dewasa (baca: tua) ini- butuh untuk dicari dan dipelihara. Salah satunya melalui mesin waktu di konser-konser band lawas. Yah, kami hanya sekelompok orang yang mungkin belum siap menua atau malah justru siap menyambut dan merayakan masa dewasa.

Mari kita tutup bacaan ini dengan bernyanyi bersama reff lagu MLTR berjudul "Paint My Love"

"Paint my love
You should paint my love
It's the picture of a thousand sunsets
It's the freedom of a thousand doves
Baby, you should paint my love"

Jika sebuah lagu mampu mengikat kenangan, maka saat ini pun saya tengah mencoba mengikat kenangan dengan menuliskannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Music Selengkapnya
Lihat Music Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun