Sesekali layar besar di panggung menangkap momen penonton yang ikut bernyanyi dengan penuh penghayatan. Ada keharuan di mata orang-orang itu, mungkin lagu yang sedang dimainkan punya makna mendalam bagi mereka.
Terjawab sudah mengapa mereka rela menggelontorkan uang yang tidak sedikit untuk menonton. Ini bukan soal nominal, tapi soal kenangan yang tak bisa diukur dengan nilai apapun.
Yap, bagi kami yang tumbuh di era musik band masih merajai dunia dan hiburan masih terbatas ala kadarnya, masa sekarang (baca: masa kini) adalah waktu yang tepat untuk bernostalgia.
Apalagi saya yang dulu tumbuh di desa, jangankan untuk menonton konser, untuk mendengarkan lagu kesukaan saja harus sabar menunggu diputar di radio atau kalau ingin membeli kasetnya harus rela menabung dengan tidak jajan selama berminggu-minggu.
Masa sekaranglah waktu yang tepat untuk balas dendam. Untuk bertemu dan mendengarkan langsung musisi-musisi lawas yang dulu hanya didengarkan melalui radio, kaset tape atau televisi.
Apalagi saat melihat Russell Charles Hitchcock keluar pertama kali dengan rambut penuh uban dan Graham Russell dengan kulit berkerut, saya merasa keputusan untuk menonton duo rock Air Supply itu sudah sangat tepat. Kesempatan belum tentu datang dua kali, bukan?
Banyak musisi yang ingin saya tonton tapi sudah pamit lebih dulu meninggalkan dunia ini. Contohnya Dolores O'Riordan vokalis The Cranberries atau Chester Bennington vokalis Linkin Park yang hampir 3 albumnya masih nyangkut di kepala saya.
Meski pengganti Chester, Emily Armstrong suaranya tak kalah hebat tapi rasanya tetap ada yang kurang. Mungkin bukan karena siapa yang lebih hebat tapi karakter suara Chester yang sudah terlanjur ikut terikat dengan kenangan dalam lagu-lagu Linkin Park. Hal-hal seperti ini memang sedikit disayangkan tapi tak bisa diapa-apakan.
Melihat konser dengan artis lawas membuat saya sadar bahwa masa muda perlahan-lahan berlalu tanpa pamit. Tiba-tiba saja muncul uban di kepala, tiba-tiba saja masa-masa itu berubah menjadi kenangan. Tanpa sadar juga lagu-lagu yang saya dengarkan di masa itu mengikat kenangan-kenangan tersebut ke dalam baitnya, nadanya pun melodinya.
Lalu akan muncul rasa hangat ketika mendengarkannya, sebagaimana rasa dingin dan pahit juga datang ketika sebuah lagu terasosiasi dengan peristiwa sedih atau pilu di masa lalu. Baik pahit maupun manis, pengalaman untuk bisa kembali menyelaminya terasa menyenangkan pula mendebarkan.
Rasa-rasa itu -bagi kami yang mulai beranjak dewasa (baca: tua) ini- butuh untuk dicari dan dipelihara. Salah satunya melalui mesin waktu di konser-konser band lawas. Yah, kami hanya sekelompok orang yang mungkin belum siap menua atau malah justru siap menyambut dan merayakan masa dewasa.