Mohon tunggu...
Ire Rosana Ullail
Ire Rosana Ullail Mohon Tunggu... Administrasi - irero

Content Writer | Sosial Budaya | Travel | Lifestyle | Book Sniffer | Bibliophile | Bibliomania | Tsundoku | email : irerosana@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Wayang

23 Oktober 2024   09:49 Diperbarui: 23 Oktober 2024   14:58 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Di rumah calon bupati no urut 01
 
Hari itu langit di kota D berwarna biru cerah namun tidak dengan suasana hati Prabu.

Baskoro, satu-satunya lawan politiknya di pemilihan bupati membuat berita yang menggemparkan. Kabarnya ia akan menggelar pagelaran wayang kulit di alun-alun barat dengan dalang Ki Jatayu Mantra. Dalang yang dulu pernah terkenal pada masanya. Prabu kesal karena ide semacam itu tak bisa ia temukan lebih dulu. Kini si Baskoro tengah dielu-elukan seantero Kabupaten. Wajahnya terpampang di koran -koran lokal sebagai penyelamat kebudayaan.
 
Setiap membaca berita, timbul amarah yang gagal ia sembunyikan, salah satunya di depan Supri, kaki tangan yang paling ia percaya melebihi kepercayaan kepada dirinya sendiri. Sayangnya untuk urusan seperti ini Prabu tak butuh orang yang bisa dipercaya, ia lebih butuh orang yang bisa berpikir cerdas dan Supri tentu bukan orang yang tepat.

"E.. maaf Pak, bagaimana kalau Bapak juga menggelar pagelaran wayang kulit?" kata Supri mencoba memberi usul.

Bukan senang, Pabru justru semakin yakin bahwa Supri termasuk orang yang tak pandai. Ide menggelar pagelaran wayang tentu akan menimbulkan polemik untuk dirinya. Bisa -bisa ia dicap njiplak, tak mau kalah atau tidak kreatif. Hal semacam ini tentu akan menurunkan popularitasnya di pilkada.

"Apa tidak ada ide lain yang lebih bagus, Pri? Tapi apa ya? Yang kira-kira mengandung makna, punya nilai, ya...semacam itulah," Prabu berucap sembari mengubah posisi duduknya ke arah Supri.

Supri terdiam, idenya mentok begitupun dengan Prabu. Tak ada ide yang lebih brilian dibanding menghadirkan pagelaran wayang. Sulit untuk menandinginya. Di satu sisi masyarakat terhibur, di sisi lain upaya penyelamatan budaya menjadi poin penting yang akan mengharumkan nama si penggelar.

Bagaimanapun jika kelak ia menang, ia tak ingin dikenal sebagai bupati yang tak berbudi luhur karena mengesampingkan nilai-nilai adat dan budaya. Sayangnya ia sudah terlanjur mengundang orkestra Geboy untuk kampanyenya di alun-alun, grup dangdut yang ketenarannya sekarang sudah masuk level nasional.

Ia jamin seluruh rakyat sekabupaten akan berkumpul untuk menontonnya. Meski begitu ia juga yakin berita-berita lokal akan menyudutkannya karena dinilai hanya menebar sensasi dan mengesampikan nila-nilai budaya.

"Kalau janji mendirikan Kampung Wayang, Pak?" tiba-tiba Supri menyeletuk.

Prabu mencoba menelaah ucapan Supri, masih soal wayang tapi sebuah kampung. Serupa tapi tak sama. Tiba-tiba wajah Prabu berubah sumringah. Sungguh itu ide yang menarik di tengah posisinya yang sedang terjepit. Tak seorang pun kepikiran untuk membuat sebuah Kampung Wayang. Ia teringat dulu, ada sebuah desa di kabupatennya yang memproduksi wayang kulit tapi karena peminatnya semakin berkurang lambat laun para pengrajinnya lebih memilih beralih profesi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun