Tak ada yang lebih membuat khawatir bagi masyarakat di era ini melebihi ponsel yang tertinggal di rumah. Apakah anda pernah mengalaminya?
Kalau saya iya. Selanjutnya saya berubah cemas, khawatir seolah ada yang kurang dalam hidup.
Berbagai pikiran mulai muncul, bagaimana kalau ada email masuk dan saya terlambat membacanya? Bagaimana jika ada pesan WhatsApp dan itu penting? Ada tidak ya yang mengirim direct message di IG dan semacamnya.
Ketika pulang ke rumah, tanpa menaruh tas, tanpa berganti baju, saya langsung mencari keberadaan si ponsel. Padahal setelah saya cek isinya nihil, email masuk hanya berisi info-info rutin, pesan WhatsApp hanya ada beberapa dan tidak terlalu penting, sementara tak ada satupun notifikasi dari IG.
Kekhawatiran yang saya rasakan tidak terbukti atau dengan kata lain sudah ditahap berlebihan.
Eits, tapi masalahnya tidak semudah itu. Kekhawatiran dan rasa cemas karena tidak memegang ponsel seperti yang saya alami bisa diindikasikan sebagai kecanduan gadget atau gadget addiction.
Tak hanya ketika ponsel tertinggal. Ketika bangun tidur, sebelum mata terbuka, tangan saya sudah menggapai ponsel lebih dulu. Sama halnya ketika akan tertidur, hal terakhir yang saya lihat sebelum kantuk adalah ponsel.
Parahnya lagi bahkan ponsel saat ini menjadi teman paling setia ketika seseorang buang hajat. Sedemikian candu ponsel di hidup seseorang, seolah kalau tidak memegang dan melihat isinya hidup terasa kurang.
Apa yang saya alami kemungkinan besar juga dialami oleh banyak orang. Menurut laporan State of Mobile tahun 2024, Indonesia menjadi negara paling kecanduan mobile nomer satu di dunia dengan rata-rata penggunaan mobile di tahun 2023 adalah sebanyak 6,05 jam per hari.
Mengapa teknologi digital sedemikian candu? Dalam sebuah diskusi peringatan hari Kesehatan Jiwa Sedunia pada 2 Oktober 2024 lalu, dr. Lahargo Kembaren, SpKJ seorang psikiater dan dokter Spesialis Kesehatan Jiwa memaparkan, secara psikologi platform digital mengaktifkan brain's reward system dengan cara memicu pengeluaran dopamine yang menyebabkan euforia sehingga berpengaruh terhadap decision making dan impulsivity.
Jika dilihat dari sisi sosial, platform digital menjadi tempat nyaman bagi mereka yang merasa kurang dukungan secara emosional, mengalami ansietas serta depresi untuk mencari hiburan.
Selain itu platform sosmed juga disinyalir mendorong validation-seeking behavior melalui adanya like dan comment yang mengarah pada peningkatan interaksi.
Kehidupan ideal yang diperlihatkan di sosmed juga memicu perasaan inadequacy (kekurangan) dan mendorong seseorang untuk terus menggunakannya. Di samping itu dari sisi teknologi, fitur-fitur gadget terus menerus diupdate menjadi lebih menarik, membuat seseorang enggan meninggalkannya.
Baik dari sisi psikologi, sosial hingga teknologi yang dirancang sedemikian rupa membuat seseorang candu dan banyak menghabiskan waktunya di dunia digital. Masalahnya kecanduan semacam ini memiliki dampak buruk baik secara fisik maupun mental.
Dokter Lahargo juga menyampaikan beberapa efek dari kecanduan digital di antaranya gangguan kesehatan mental dan emosional, kesehatan fisik terganggu, penurunan kinerja akademis dan profesional, dampak negatif pada hubungan interpersonal, masalah finansial, isolasi sosial hingga masalah yang berkaitan dengan hukum.
Terkadang seseorang mungkin tidak merasa bahwa mereka sudah masuk dalam fase stress, padahal beberapa cirinya sudah terlihat seperti contohnya moody, mudah marah atau tersinggung, gelisah, merasa kesepian meski di tengah keramaian, sering bersedih, perubahan nafsu makan, sulit tidur, sering menunda-nunda pekerjaan, overthinking, sulit berkonsentrasi hingga gampang lupa.
Kecanduan ini juga berpengaruh terhadap hubungan dengan orang lain. Banyak sekali dari kita yang saat berkumpul dengan kawan atau keluarga tapi malah sibuk bermain Ponsel. Mungkin kita menyimak atau ikut diskusi namun mata tetap tidak bisa lepas dari ponsel.
Hal ini seperti ini tentu menyebalkan bagi lawan bicara. Bisa-bisa mereka merasa tidak dianggap atau bahkan merasa tidak lebih penting dari sebuah ponsel.
Jika sudah ditahap ini agaknya kita perlu membatasi atau menghentikan sejenak aktivitas yang berhubungan dengan ponsel maupun internet atau istilah populernya adalah detox gadget atau detoksifikasi digital. Fokusnya adalah mengurangi atau tidak menggunakan gadget untuk mengurangi kecanduan serta meningkatkan aktivitas sosial.
Detoksifikasi digital bukan hal baru, beberapa publik figur terpantau pernah melakukannya. Contohlah Eva Celia yang mengaku sudah terlalu banyak menggunakan media sosial atau Tatjana Shapira yang merasa perlu melakukannya untuk menghindari komentar-komentar negatif dari warga net.
CEO perusahaan Salesforce, Marc Benioff juga pernah mengumumkan bahwa dirinya menjalani detox digital selama 10 hari saat berlibur ke Polinesia Perancis. Benioff merasa sudah kecanduan dengan perangkat dan perlu meninggalkan semuanya untuk sementara waktu.
Selain detox gadget kita juga bisa memaksimalkan fitur digital wellbeing yang ada di ponsel android. Fitur ini akan membantu kita mengatur atau mengontrol penggunaan gadget. Caranya tinggal buka setting dan temukan fitur digital wellbeing. Di sana akan muncul jumlah statistik waktu pemakaian gadget kita dalam satu hari.
Di bawah statistik ada beberapa menu yang bisa kita setting sesuai keperluan. Misalnya menu bedtime mode atau mode tidur. Jika mode ini diaktifkan, maka layar Ponsel akan otomatis berubah hitam sebagai penanda sudah waktunya beristirahat sesuai jam yang kita pilih.
Ada juga focus mode di mana saat kita aktifkan, kita bisa memilih fokus pada aplikasi-aplikasi tertentu dan menyingkirkan sementara waktu aplikasi yang dirasa cukup mengganggu.
Hal lain yang bisa kita lakukan untuk membatasi penggunaan gadget adalah dengan memperbanyak aktivitas di luar rumah. Banyak hal yang bisa dilakukan tanpa melibatkan gadget contohnya memancing, hiking, bermain musik, menggambar, membaca buku, memasak, camping dan semacamnya.
Kita bisa melakukan kembali hobi-hobi yang sejauh ini terbengkalai akibat terlalu fokus pada gadget atau bisa juga menemukan hobi-hobi baru yang menyenangkan dan lebih menantang.
Sebenarnya kalau dipikir-pikir banyak distraksi ketika kita berselancar di dunia maya. Yang tujuan awalnya mengerjakan projek malah lanjut scroll-scroll atau yang awalnya buka email malah keterusan membuka sosial media artis-artis.
Teknologi yang seharusnya meringankan tugas kita dan membuat kita lebih produktif tapi malah justru mengalihkan perhatian kita ke berbagai hal yang kurang penting.
Akhir kata, meski daya tarik dari isi ponsel kita sedemikian besar tapi kita masih berkuasa untuk menentukan mengatur, membatasi, menolak hal-hal apa saja yang berhak menyita perhatian kita dan yang tidak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H