Cafe-cafe yang ketika siang tertidur, satu per satu mulai terbangun dan menampakkan sinarnya. Ketika malam, wajah Jakarta berubah. Seperti ada taburan bintang di mana-mana.
Saya menyukai lampu-lampu malam. Dulu semasa masih tinggal di Semarang saya suka nongkrong di Gombel (sebuah tempat yang memungkinkan seseorang untuk melihat seluruh kota Semarang dari atas). Saya hanya perlu memesan kopi yang harganya tak lebih dari 10.000 rupiah saja.
Lebih dari Semarang, Jakarta jauh lebih bersinar ketika malam. Itulah mengapa setiap mendapat jadwal pesawat malam, saya memilih duduk di dekat jendela! Seperti terbang di atas taburan bintang! Sungguh nggak ada obat!
Masih banyak alasan mengapa saya memilih bertahan di Jakarta. Hingga saat ini saya pun masih terus merajut sejuta alasan mengapa saya masih memilih tinggal di kota ini.
Jakarta adalah kota yang tak pernah tidur, ia hidup selama 24 jam. Kota ini cocok dengan mereka yang ingin mandiri, mengejar mimpi tanpa di ributi soal pertetanggaan. Tak ada yang bertanya kamu dari mana dan mau ke mana. Bagi beberapa orang yang menyukai privasi, ini menjadi sebuah kenyamanan.
Jakarta menerima berbagai kondisi seseorang tanpa penghakiman. Jakarta membuatmu menjadi diri sendiri tanpa mencemaskan pendapat orang lain. Jakarta menjadi simbol nyata kebhinekaan. Orang-orang dengan berbagai latar belakang suku dan bahasa bertemu dan menjalin pertemanan.
Entah sejak kapan saya mulai nyaman tinggal di Jakarta. Mungkin sejak menerima banyak penolakan, sementara Jakarta menerima saya apa adanya. Sebaliknya, di balik segala hal baik yang saya sampaikan, saya pun berupaya memaklumi kekurangan Jakarta. Seperti itulah sebaiknya hubungan dibina. Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H