Bulan telah pingsan.
Mama, bulan telah pingsan.
Menusuk tikaman beracun
dari lampu-lampu kota Jakarta
dan gedung-gedung tak berdarah
berpaling dari bundanya
Sebuah keputusasaan pernah digambarkan oleh WS Rendra melalui puisi berjudul "Bulan Kota Jakarta." Menurut Rendra, nilai-nilai kemanusiaan semakin punah di tengah hiruk pikuk kota Jakarta.
Jakarta memang menggenggam banyak luka. Ibarat manusia, ia sudah sekarat. Polusi, banjir, macet, kriminalitas, sudah menjadi makanan sehari-hari. Tak ada yang menyangkal andai kota ini dinyatakan tidak layak huni.
Laporan Ikatan Ahli Perencanaan (IAP) tahun 2022 mencatat bahwa Jakarta tidak termasuk ke dalam 10 besar kota layak huni di Indonesia. Dengan skor indesk 69, Jakarta harus pasrah berada di urutan ke 14.
Jakarta memang tidak sempurna, masih banyak kekurangan di sana- sini, tapi lucunya sampai dengan hari ini masih banyak orang yang tetap memilih tinggal di dalamnya. Jakarta bahkan di sebut-sebut sebagai kota terpadat di Indonesia dengan rasio 15.978 orang per km2. Fakta yang aneh tapi nyata.
"Sebuah kota mampu mematahkan hatimu, tapi juga melahirkan cinta untukmu." Kata Dian Nafi dalam buku Cerita Cinta Kota.
Untuk mencintai suatu kota, kamu butuh tinggal lebih lama dan menyelaminya lebih dalam. Jika kamu ke Jakarta hanya sepintas lalu maka yang kamu temukan hanyalah kebisingan, kemacetan dan udara yang tidak ramah paru-paru. Tapi jika mencoba tinggal lebih lama kamu akan mulai menemukan hal-hal menarik dari Jakarta.
Itulah yang 8 tahun ini saya kumpulkan dan menjadi alasan mengapa saya tetap bertahan di Jakarta.
Transportasi masal paling  lengkap dan murah
Tidak ada kota di Indonesia yang punya transportasi masal selengkap Jakarta. Bahkan di tahun 2019 ajang Suistainable Transport Award (STA) di Fortaleza Brazil menyebut Jakarta masuk ke dalam 3 besar kota terbaik dalam bidang transportasi.
Transportasi masal yang tersedia antara lain ; KRL, MRT, LRT, Trans Jakarta, Jaklinko dan Kereta Bandara. Semuanya dibangun untuk menjangkau seluruh titik daerah di Jakarta dan sekitarnya.
KRL misal, mampu menghubungkan 93 titik stasiun di Jabodetabek dengan daya tampung yang sangat besar. Dalam satu hari operasi KRL mampu mengakomodir mobilitas 700.000 hingga 850.000 penumpang.
Selain itu ada Trans Jakarta yang menghubungkan sejumlah 273 titik halte di Bodetabek (Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi). Ada juga LRT yang menghubungkan 18 titik stasiun di Jabodebek (Jakarta Bogor Depok dan Bekasi).
Dengan banyaknya pilihan transportasi, mobilitas di Jakarta pun semakin mudah. Saya bisa ke mana-mana dengan biaya yang sangat terjangkau. Tarif KRL misal, hanya 3000 rupiah berlaku untuk 25 km pertama dan tarif progresif hanya 1000 rupiah untuk setiap 10 km berikutnya. Harga ini ramah untuk semua kalangan masyarakat terutama menengah ke bawah.
Tarif Trans Jakarta tak kalah murahnya. Berbeda dengan tarif KRL yang dihitung secara kilometer, tarif Trans Jakarta dibedakan berdasarkan waktu. Pukul 05.00 hingga 07.00 WIB Rp.2000, pukul 07.00 -- 24.00 WIB Rp. 500, sedangkan pukul 24.00 -- 05.00 WIB adalah sebesar RP. 3500. Lebih murah dibanding segelas kopi starling, bukan?
Rumah sakit rujukan tertinggi ada di Jakarta
Menyoal kesehatan, saya rasa orang-orang yang tinggal di Jakarta punya privilege. Mengapa? Hal ini saya sadari ketika beberapa tahun lalu mengantar mertua berobat ke RS Pusat Jantung Nasional Harapan Kita. Di sana saya bertemu pasien rujukan dari seluruh Indonesia.
Salah satu pasien yang saya temui datang dari Kalimantan. Ia bercerita, meski pengobatannya sudah dicover BPJS tapi keluarganya tetap harus mengeluarkan uang hingga puluhan juta rupiah untuk biaya pesawat dan tinggal di kontrakan / kos-kosan yang dekat dengan rumah sakit selama masa pengobatan berlangsung.
Bukan hal baru di kalangan pasien bahwa kos-kosan dan kontrakan di sekitar rumah sakit rujukan tertinggi (RS Harapan Kita, RS Dharmais, RS PON dan kawan-kawannya) mulai menjamur dengan harga sewa yang tidak murah. Para pasien dan keluarganya bisa menyewa hingga berbulan-bulan selama masa pengobatan. Uang 20 hingga 30 juta sudah lumrah digelontorkan oleh mereka yang datang dari luar kota dan pulau.
Tidak bermaksud untuk mensyukuri sakit tapi bukankah ini sebuah privilege bagi mereka yang tinggal di Jakarta? Kami hanya perlu merogoh kocek tak seberapa karena bisa pulang pergi selama masa pengobatan?
Tak hanya memangkas biaya. Tinggal di  Jakarta membuat kita mendapat akses pelayanan kesehatan lebih cepat. Contoh, ayah mertua saya pernah tengah malam terkena serangan stroke. Dengan cepat kami pun membawa langsung ke RS Pusat Otak Nasional (PON). Hasilnya beliau segera di tangani sehingga kondisinya tidak semakin parah.
Kesehatan menjadi hal paling penting bagi manusia. Tanpa kesehatan, orang akan kesusahan untuk melakukan aktivitasnya sehari-hari. Wajar jika fasilitas kesehatan di jadikan salah satu alasan kuat saya untuk tetap tinggal di Jakarta.
Daya beli masyarakat tinggi
Daya beli masyarakat akan berpengaruh ke banyak hal. Salah satunya menstimulus pelaku usaha untuk mengembangkan bisnisnya. Imbasnya Jakarta menjadi kota yang serba ada. Mau mencari barang apa aja pasti ada.
Pusat grosir terbesar di Indonesia bahkan di Asia Tenggara yaitu Tanah Abang juga ada di Jakarta. Hal ini memudahkan masyarakat yang ingin membuka usaha dalam bidang fashion. Mau kulakan dekat,  pasarnya pun potensial.
Jakarta juga menjadi pusatnya internet di negeri ini jadi jangan ditanya soal kualitas, nggak ada lawan! Banyaknya penyedia jasa layanan internet membuat konsumen bebas memilih dan membandingkan antara harga dan kualitas yang ditawarkan.
Internet di jaman sekarang sudah seperti kebutuhan primer, maka sudah sewajarnya jika hal ini dijadikan bahan pertimbangan untuk tetap tinggal di Jakarta.
Gudang live musik dan pusat hiburanÂ
Kapan lagi nonton The Cangcuters, Jrocks, Tiara Andini dan kawan-kawannya manggung secara gratis? Banyak live music gratis yang tersebar di berbagai titik tempat di Jakarta.
Tak hanya satu, terkadang dalam satu waktu, beberapa live music gratis diselenggarakan di beberapa tempat yang berbeda. Saya sendiri sampai bingung mau nonton yang mana!?
Salah satu tempat yang rutin menyelenggarakan live music gratis adalah Sarinah. Beberapa mall besar lain dan tempat-tempat hits seperti hutan GBK, Pos Bloc dan M Bloc Space juga sering dipilih sebagai titik lokasi.
Jakarta juga menjadi pusat hiburan dan liburan. Banyak destinasi wisata -baik yang sudah umum maupun yang antimainstream-Â ada di Jakarta. Berbagai tempat nongkrong baik yang berbayar maupun yang gratis juga ada.
Destinasi umum yang biasa dikunjungi para pelancong dari luar daerah antara lain Monas, TMII, Ragunan, Kota Tua dan kawan-kawannya. Sementara bagi mereka yang tinggal lebih lama di Jakarta akan lebih prefer dengan tempat nongkrong ngehits tapi mumer seperti M Bloc Space, Pos Bloc, Hutan GBK, Tanjakan 13, Erasmus Huis, Tebet  Eco Park, chillax dan kawan-kawanya.
Tak ada alasan untuk menggalau di Jakarta. Ibarat kata kamu tinggal keluar rumah, naik trans jakarta lalu nongkrong saja di Sarinah. Selesai nonton live music, tinggal naik ke sky deck-nya lalu foto-foto. Tunjukkan pada dunia bahwa kamu baik-baik saja.
Pusat event dan kegiatan komunitas terbesar di Indonesia
Ada banyak event besar tahunan yang diselenggarakan di Jakarta. Tak hanya warga Jakarta sendiri, event-event ini juga kerap mengundang perhatian dan pengunjung dari luar daerah. Contoh event yang diselenggarakan rutin samban tahun antara lain; Indonesia International Book  Fair (IIBF), Pekan Raya Jakarta (PRJ) atau Jakarta  Fair, Jakarta Fashion Week (JFW), Djakarta Warehouse Project (DWP), Jakarta Culinary Festival, Jakarta International Java Jazz Festival, Indonesia Color Run, dan kawan-kawannya.
Tidak sulit pula untuk mencari kawan baru dan menambah ilmu di kota ini. Ada banyak komunitas serta pelatihan yang bisa ikuti secara gratis. Semua itu bisa digunakan untuk menambah skill, memperluas pengetahuan serta pengembangan diri.
Contoh untuk yang ingin jago berbahasa inggris ada komunitas Britzone, salah satu komunitas bahasa inggris terbesar di Indonesia. Mereka memiliki agenda rutin berupa kelas setiap selasa, kamis dan sabtu. Tema yang diangkat selalu berbeda-beda. Di sana kita bisa menambah ilmu tentang tema yang diangkat, mempraktikkan bahasa inggris secara langsung serta menambah pertemanan.
Bagi para pencinta buku ada banyak komunitas yang bisa dipilih, salah satu di antaranya Jakarta Book Party yang baru-baru ini sedang hits-hitsnya. Kegiatannya antara lain membaca buku bersama, berdiskusi serta pergi ke perpustakaan bareng. Mereka biasa memilih tempat-tempat terbuka untuk mematahkan stigma masyarakat bahwa membaca buku di ruang publik itu aneh.
Kompasiana sendiri juga mempunyai banyak komunitas-komunitas yang bisa digunakan untuk mengeksplore diri di antaranya Kopaja (Komunitas Kompasianer Jakarta), KOMIK (Kompasianer Only Movie Enthus(i)ast Klub), Kompasianer Air, Click Kompasiana, KOTeKA( Komunitas Traveler Kompasiana) dan masih banyak lagi. Tinggal pilih saja sesuai minat serta hobi.
Yang menarik lagi di Jakarta banyak komunitas, instansi, media maupun organisasi yang menyelenggarakan pelatihan secara gratis. Hal semacam ini memanjakan orang-orang yang ingin berkembang serta menambah ilmu pengetahuan.
Suasana malam jakarta nggak ada obat!
Pernah jalan-jalan atau nongkrong malm-malam di Jakarta? Banyaknya lampu-lampu baik di jalanan maupun dari gedung-gedung bertingkat membuat kota ini berubah cantik. Dari yang suram di siang hari menjadi gemerlap di malam hari.
Cafe-cafe yang ketika siang tertidur, satu per satu mulai terbangun dan menampakkan sinarnya. Ketika malam, wajah Jakarta berubah. Seperti ada taburan bintang di mana-mana.
Saya menyukai lampu-lampu malam. Dulu semasa masih tinggal di Semarang saya suka nongkrong di Gombel (sebuah tempat yang memungkinkan seseorang untuk melihat seluruh kota Semarang dari atas). Saya hanya perlu memesan kopi yang harganya tak lebih dari 10.000 rupiah saja.
Lebih dari Semarang, Jakarta jauh lebih bersinar ketika malam. Itulah mengapa setiap mendapat jadwal pesawat malam, saya memilih duduk di dekat jendela! Seperti terbang di atas taburan bintang! Sungguh nggak ada obat!
Masih banyak alasan mengapa saya memilih bertahan di Jakarta. Hingga saat ini saya pun masih terus merajut sejuta alasan mengapa saya masih memilih tinggal di kota ini.
Jakarta adalah kota yang tak pernah tidur, ia hidup selama 24 jam. Kota ini cocok dengan mereka yang ingin mandiri, mengejar mimpi tanpa di ributi soal pertetanggaan. Tak ada yang bertanya kamu dari mana dan mau ke mana. Bagi beberapa orang yang menyukai privasi, ini menjadi sebuah kenyamanan.
Jakarta menerima berbagai kondisi seseorang tanpa penghakiman. Jakarta membuatmu menjadi diri sendiri tanpa mencemaskan pendapat orang lain. Jakarta menjadi simbol nyata kebhinekaan. Orang-orang dengan berbagai latar belakang suku dan bahasa bertemu dan menjalin pertemanan.
Entah sejak kapan saya mulai nyaman tinggal di Jakarta. Mungkin sejak menerima banyak penolakan, sementara Jakarta menerima saya apa adanya. Sebaliknya, di balik segala hal baik yang saya sampaikan, saya pun berupaya memaklumi kekurangan Jakarta. Seperti itulah sebaiknya hubungan dibina. Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H