Wah ini tentunya sangat berkebalikan sekali dengan kondisi di Indonesia. Polusi suara ada di mana- mana. Contoh ketika seseorang menggelar pesta pernikahan, gaung sound-nya bisa sampai ujung desa selama 3 hari 3 malam. He, saya tidak sedang melebih-lebihkan.
Banyak daerah di Indonesia yang masih menggelar rangkaian acara pesta pernikahan selama beberapa hari contohnya di daerah saya sendiri. Ada acara malam pembentukan sinoman, malam midodareni, malam pengajian dan hari akad yang berbeda hari dengan hari pestanya.
Tak usah jauh-jauh menyoal pernikahan. Di dalam kehidupan sehari-hari pun kita sering dibangunkan musik tetangga lengkap dengan nyanyian cempreng si pemiliknya. Bisa juga suara ketika tetangga kebagian jatah jadi tuan rumah pengajian yasinan malam jumat. Belum lagi bonus suara pertengkaran rumah tangga sebelah yang variannya mengalahkan visi misi capres.
Di negeri ini, suara-suara masih menyeruak layaknya udara bebas. Yah memang di kota-kota besar mulai ada satu dua yang protes dan merasa keberatan, tapi tak pernah berujung ke kepolisian.
Jika boleh memberi label, saya rasa Indonesia adalah negeri paling toleran menyoal ranah pertetanggaan!
Negara-negara yang kita pikir nyaman itu pun ternyata menyimpan banyak kekurangan sementara kita mudah saja menemukan celah syukur dari negeri ini.
Seperti halnya ketika bokek, orang masih saja bisa hepi dengan nongkrong di warung sembari minta rokok sebat ke orang di sebelahnya. Atau ketika isi dompet sudah setipis tisue, tinggal melantunkan pantun pinjam dulu seratus ke whatsapp sohibnya, itupun pakai Hp sohibnya yang lain.
Di negeri ini segala hal dilalui dengan santuy. Istilah yang amat sangat diperlukan di tengah cepatnya putaran roda kehidupan.
Intinya dari semua yang terjadi, saya ingin bilang: yasudahlah di syukuri saja! Mari lalui tahun ini dengan banyak-banyak bersyukur!