Saya adalah salah satu orang yang cukup keras kepala dan berpikir bahwa buku adalah hadiah terbaik yang kita bisa berikan untuk seseorang. Itulah mengapa saya memulai kebiasaan memilih buku sebagai hadiah pernikahan, kado ulang tahun atau sekadar ucapan terima kasih kepada seseorang.
Saya juga cukup keras kepala, berharap kebiasaan tersebut bisa menjadi tren terbaru di masyarakat Indonesia yang padahal oleh UNESCO disebut-sebut memiliki minat baca yang cukup memprihatinkan. Yup, memang benar minat baca di Indonesia hanya 0,001% yang artinya dari 1000 orang di Indonesia hanya 1 yang suka membaca.
Peringkat kita bahkan berada di bawah Thailand. Iya, di bawah negara yang selama ini netizen jadikan meme meme hanya karena logat bahasanya yang terdengar aneh itu.
Faktanya, buku di negeri ini bukan sesuatu yang dengan mudah kamu temukan di video unboxing kado ulang tahun para selebgram. Bukan hal yang pertama yang akan kamu selamatkan ketika terjadi kebakaran atau kamu tangisi ketika hilang dicuri orang.
Keresahan soal buku pernah Eka Kurniawan tuangkan dalam bentuk cerpen berjudul "Peter Pan." Ceritanya, ada seorang pencuri buku.
"Dalam pengakuannya, ia mencuri buku dari perpustakaan-perpustakaan yang tersebar di seluruh pelosok kota, dari toko-toko buku maupun dari toko loakan. Ia berkata bahwa mencuri buku merupakan tindakan terkutuk, dan ia melakukannya dengan harapan bisa ditangkap sehingga ia akan tahu bahwa pemerintah memang mencintai buku dan benci para pencuri buku. Tapi dasar ia memang malang, ia tak juga ditangkap meskipun sudah ribuan buku ia curi."
Meski dunia berkata buku punya segudang manfaat, tapi rupanya tak sepenting dan seberharga itu bagi hidup seseorang!
Tapi saya masih saja keras kepala, meski pernah memberi buku ke keponakan yang beberapa minggu setelahnya terlihat berserakan di lantai, kusut dengan beberapa bagian yang hilang entah ke mana.
Saya tetap saja keras kepala meski di masa-masa kuliah dulu ada teman di majalah kampus yang punya ide untuk mengadakan konser punk dengan konsep free majalah untuk setiap pembelian tiket.
Yang terjadi adalah para penggemar punk itu berpesta pora merobek-robek majalah kami, menyemburkannya ke angkasa sembari berjingkrak-jingkrak.
Sialan! batin saya sembari mengumpulkan puing-puing majalah yang berserakan. Entah untuk siapa kata itu saya tujukan, kebodohan seorang teman yang awalnya punya ide atau saya sendiri yang tak kuasa menolak ide gila itu. Mungkin cinta kepada buku yang membuat hati saya teriris dan terluka, jikalau bukan lalu apa?
Dengan semua pengalaman naas itu, saya masih saja memilih buku Titik Nol milik Agustinus Wibowo sebagai hadiah pernikahan seorang karib yang baru saja menamatkan masa lajangnya. Saya tetap saja random menelepon teman yang tiba-tiba muncul dipikiran dan menanyakan mereka sedang butuh buku apa.
Apapun itu, faktanya, negeri ini belum siap menempatkan buku di list rekomendasi kado untuk orang terkasih. Hadiah buku hanya menjadi wacana di kalangan orang terbatas. Hanya mereka para kutu buku, pencinta buku atau orang-orang yang sedang membutuhkan literatur tertentu.
Buku belum mampu menyingkirkan posisi dompet dan parfum sebagai pilihan untuk diberikan kepada seseorang. Belum mampu menjadi subtitusi uang kondangan pernikahan maupun angpao di hari lebaran dan natalan.
Saya sendiri pernah mendapat beberapa hadiah buku di hari pernikahan. Itu bukan karena buku sudah diterima baik oleh masyarakat tapi karena orang melihat saya menyukainya.
Wacana buku sebagai hadiah memang baru terjadi di antara orang-orang yang menyukainya. Di luar itu masih banyak orang berpikir jika memberi hadiah buku kepada orang yang tidak suka membaca jatuhnya akan mubazir dan sia-sia belaka.
Bagi saya pribadi di sini terjadi 2 dilema, di satu sisi ingin buku lebih membumi, lebih akrab di masyarakat dan minat baca meningkat tapi di sisi lain, memberi kado buku bisa menjadi cukup bar-bar dan menjadi bencana jika dilakukan tanpa pertimbangan.
Saya menyadari poin tersebut setelah beberapa kali menerima hadiah buku. Ada buku yang hingga kini belum saya baca karena tidak cocok genrenya dan ada juga tidak saya baca karena ternyata saya sudah punya.
Dari situlah saya berpikir bahwa ada beberapa hal yang perlu diperhatikan ketika memilih buku sebagai hadiah untuk seseorang.
Mengenali karakteristik si penerima
Ada baiknya kita tahu karakteristik orang yang mau kita beri buku. Apakah dia seorang yang gemar membaca atau bukan. Hal ini akan berkaitan dengan jenis buku yang akan kita pilih.
Jika dia bukan seorang yang gemar membaca sebelumnya tapi kita ingin mendorong dia untuk mulai membaca maka kita bisa memilih beberapa buku ringan yang sesuai dengan aktivitas atau hobinya.
Mengetahui genre bacaan sebelumnya
Jika dia adalah seorang cukup atau senang membaca kita bisa melihat preferensi bacaan-bacaan dia sebelumnya. Apakah fiksi, non fiksi, apakah fiksi metropop, science fiction, sastra, biografi atau bahkan sejarah. Dengan melakukan sedikit riset mungkin dari postingan-postingannya di blog atau sosial media kita bisa sedikit tahu tentang preferensi bacaannya.
Format ini pernah dipakai oleh salah seorang kawan ketika membelikan saya buku Pangeran Kunang-Kunang karya Agus Noor. Dia mengamati media sosial saya dan menemukan interaksi saya bersama sang penulis. Kala itu ceritanya saya mendapat izin Agus Noor untuk memakai puisinya di undangan pernikahan saya.
Menanyakan lebih dulu
Untuk menghindari terjadinya penumpukan buku dengan judul yang sama atau tragedi ternyata buku yang kita beri sudah pernah dibaca sebelumnya, akan lebih baik kalau kita lebih dulu bertanya.
Memang jadinya tidak surprise, tapi sebetulnya saat kamu bertanya "apakah kamu sudah pernah baca buku ini?" atau "buku apa yang sekarang sedang kamu incar?" saat itulah surprise dirasakan oleh temanmu. Beberapa dari mereka mungkin akan terharu.
Format ini yang paling sering saya pakai. Daripada berspekulasi, lebih baik bertanya secara langsung mengenai kebutuhan buku yang tengah mereka perlukan.
Apakah format ini bisa dipakai ketika akan memberi kado pernikahan? bisa tentunya. Saya beberapa kali menanyakan kepada kawan mengenai buku apa yang sedang mereka inginkan atau cari.Â
Tentunya hal ini sedikit berisiko, misalnya jika ia menginginkan buku langka yang susah dicari atau tidak langka tapi harganya lumayan selangit. So, lebih baik pertimbangkan dulu soal ini!
Seribet apapun prosesnya, saya masih tetap ingin menjadikan buku sebagai rekomendasi pilihan kado untuk seseorang. Saya bahagia ketika membaca dan ingin menularkannya kepada teman-teman. Meski tak semudah mengajak orang nonton drama Korea, setidaknya saya sudah berusaha dan mencoba!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H