Beberapa waktu lalu saya ke toko buku dan pulang dengan tangan kosong. Ini mungkin bukan hal besar bagi orang lain tapi tidak bagi saya.Â
Pasalnya saya terbiasa membeli setidaknya satu buah buku, atau kalau memang sedang bokek-bokeknya saya akan menebus beberapa di stand buku diskon yang letaknya dekat dengan pelataran parkir.
Tapi kala itu saya tidak melakukannya dan pulang dengan sebongkah keresahan. Harga buku semakin mahal saja, kira-kira bagaimana nasib saya di kedepannya, ya? Apakah masih mampu memindahkan mereka ke rak buku pribadi?
Pikiran semacam itu melintas pasca melihat buku Haruki Murakami berjudul Kronik Burung Pegas yang harganya mencapai 199.000 rupiah yang kalau beli online didiskon menjadi 149.250 rupiah dan bagi saya tetap saja mahal karena belum termasuk ongkir.
Ada lagi buku terbaru Haruki Murakami berjudul Membunuh Commendator yang terdiri dari 2 jilid yang masing-masingnya dibandrol harga 145.000, sementara di online didiskon sebanyak 25% menjadi 108.000 rupiah (tentu belum termasuk ongkir) atau buku -- buku Dewi Lestari yang entah mengapa sekarang lebih sering bermain angka di atas seratus ribuan.
Saya bilang mahal karena saya berupaya menjumlahkan keseluruhan dari harga serinya. Seperti contohnya, untuk menyelesaikan buku Rapijali (jilid 1, 2 dan 3) saya harus merogoh kocek hingga 407 ribu rupiah. Angka yang tidak sedikit tentunya.Â
Belum lagi jika saya ingin menambah 2 karya terbaru Haruki Murakami yang berjudul Membunuh Commendator yang kurang lebih sekitar 250 ribuan (versi beli online + ongkir).
Rasa-rasanya hitungan di atas bertolak belakang dengan prinsip yang selama ini saya pegang, bahwa berapapun harga buku tetaplah murah dan mahal hanyalah persepsi.
Saya bahkan berpikir orang bisa bilang harga buku 100 ribu mahal, tapi di lain hal mereka membeli pulsa ratusan ribu dan terasa murah-murah saja.Â
Bukankah hal semacam itu menandakan bahwa mahal dan murah hanyalah persepsi, tergantung mana yang kita suka dan anggap penting dan mana yang tidak?