Bagi yang belum tahu, Lee su ho adalah salah satu karakter di drama Korea True Beauty. Sebuah drama yang diadaptasi dari webtoon yang berjudul The Secret of Angel. Karakter Lee Su Ho digambarkan sebagai seorang lelaki sempurna, guantengnya keleweatan, pintar dan kaya raya.Â
Seperti yang diimajinasikan para wanita, pria seperti itu rupanya jatuh hati (dan bahkan tergolong bucin) kepada Lim Ju Kyung. Seorang perempuan yang sedari lahir sudah bermasalah dengan wajahnya yang jelek (bahkan saking jeleknya sampai menjadi bahan bullyan di sekolahnya), tidak pandai, tidak kaya namun baik hati.
Selama drama True Beauty on going, saya rasa banyak muncul Lim Ju Kyung dadakan, para perempuan yang merasa dirinya kurang dan berharap ada pria sesempurna Lee Su Ho yang mau menerima kekurangannya secara apa adanya.
Omong kosong! batin saya tiap kali melihat adegan kebucinan Lee Su Ho terhadap Lim Ju Kyung. Pria seperti itu tidak ada di dunia nyata! Saya yakin sekali! Tapi meski begitu saya tetap saja menontonnya,hee.
Rupanya drama serta dongeng berformat ala cinderella tak akan pernah mati. Dari jaman dulu hingga kini, dunia tertarik dengan cerita seorang perempuan yang serba kurang (semakin kurang semakin baik) yang mendapatkan seorang laki-laki yang super duper sempurna (makin sempurna semakin diminati).
Peta seperti ini masih sering dipakai di drama-drama baik Jepang, Cina, Korea bahkan di Indonesia. Masih ingat dengan Meteor Garden drama Taiwan yang menceritakan kisah cinta antara Dong Shancai dari keluarga miskin dengan Dao Ming Si yang berasal dari keluarga kaya raya yang booming di tahun 2001?
Model cerita seperti itu selalu mendapat perhatian masyarakat khususnya perempuan. Ketertarikan tersebut secara tidak langsung telah menunjukkan isi hati dan kepala perempuan. Bahkan banyak perempuan berlindung di balik drama-drama semacam itu. Mereka menikmati tontonan yang membuat hati nyaman dan dirasa bisa mewujudkan impian serta harapan-harapan yang tidak mampu dicapai di dunia nyata.
Permasalahannya, sejauh apa kebaperan itu dibawa? Sebatas hiburan di sela-sela kepenatankah ataukah tertanam dan menjadi standar di kehidupan nyata seperti ketika memilih pasangan? Kalau iya, sepertinya tulisan ini akan sedikit beguna atau..... semoga saja berguna.
Membedakan mana kehidupan di drama dan mana realitas menurut saya menjadi salah satu catatan penting bagi seorang perempuan yang hendak mencari pasangan hidup serta yang baru mau mengarungi bahtera rumah tangga.
Hai ladies, tak ada Lee Su Ho di dunia nyata! Anggaplah begitu. Jikalaupun ada pastilah satu di banding sejuta.
Ketika kita menyukai sebuah karakter entah dalam novel, film atau drama secara tidak sadar kita telah memasukkan atau menyisipkan karakter tersebut ke dalam standar yang akan kita pilih. Jadi jangan heran jika ujung-ujungnya malah jadi kecewa.
Dulu ketika remaja, gadis-gadis seusia saya berharap akan menikah dengan pria yang tampan, berkecukupan, setia, baik hati dan penyayang layaknya pangeran dicerita dongeng.Â
Berharap seperti itu tentunya wajar, namanya juga manusia. Namun setelah menjalani bahtera rumah tangga selama beberapa tahun, semakin ke sini saya semakin sadar bahwa angan-angan tersebut tidak dekat dengan realitas yang saya lihat. Rupanya kita lebih butuh pria yang bisa diandalkan.
Memilih pasangan untuk dinikahi sama dengan memilih teman hidup yang paling supportif dengan segala macam kondisi yang nantinya akan dihadapi. Tak perlu orang setampan Lee Su Ho atau sekaya Dao Ming Si tapi cukuplah seseorang yang bisa menjadi teman terbaik di segala kondisi.
Tak ada pernikahan yang lepas dari masalah, setiap hari, setiap waktu ada -- ada saja masalah yang harus dihadapi. Mungkin masalah itu bukan dari dirimu dan pasanganmu tapi bisa jadi dari orang-orang di sekitarmu, keluargamu, pekerjaanmu atau keuanganmu.Â
Setiap pasangan memiliki masalahnya sendiri dan ketika masalah itu tiba yang dibutuhkan adalah seorang teman yang bisa diajak berdiskusi dan berkomunikasi dengan baik untuk bersama-sama mencari solusi dengan kepala dingin.
Pernikahan memang terlalu rumit untuk dijabarkan hanya dengan satu standar. Namun apapun standar yang akan dibuat, lebih membantu jika dibuat serealistis mungkin.Â
Bertahan di sebuah pernikahan bukan sesuatu yang mudah, terbukti dengan banyaknya publik figure kawin cerai yang padahal oleh netizen dihitung sebagai pasangan yang cukup mesra.
Kita tidak tahu warna celana dalam orang lain, begitulah perumpamaan yang paling tepat untuk menggambarkan kondisi rumah tangga orang lain. Tapi kita tahu kekurangan, kondisi, batasan serta kebutuhan diri kita sendiri. Dengan melihat diri sendiri secara jujur kita akan bisa menetapkan standar pasangan yang sesuai.
Saya rasa sebelum kita menuntut seorang pasangan, terlebih dahulu kita perlu menerima diri kita sendiri apa adanya. Dengan begitu kita akan sadar bahwa tidak ada orang yang sempurna.
So, buat kamu yang baru akan menikah atau tengah berproses mencari pasangan hidup, hal pertama yang perlu dilakukan adalah bangun dan berpikirlah serealistis mungkin. Â Jangan keras kepala dan memaksakan sesuatu yang sedari awal saja kita sudah tahu itu tidak mungkin atau tidak bisa.
Dan, tentang siapa orang yang tepat untuk menjadi pasanganmu, soal itu kamu pasti lebih tahu melebihi siapapun.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H