Dari segi positif, aktivitas digital memang membantu masyarakat untuk beradaptasi dengan pola kebiasaan baru namun, kemudahan yang didapat rupanya juga dibarengi dengan tantangan baru berupa peningkatan perilaku konsumtif di tengah masyarakat.
Jika kondisi seperti ini terjadi secara terus menerus tentu mengganggu kondisi personal keuangan baik di masa sekarang maupun di masa yang akan datang. Â Dana yang seharusnya bisa disisihkan untuk tabungan serta investasi tak terasa habis begitu saja entah ke mana.
Rupanya istilah menabung di masa pandemi tidak semudah menyanyikan lagu masa kecil milik Saskia dan Geofanny:
Bing beng bang yok kita ke bank, bang bing bung yok kita nabung
Mau ke bank e.... lagi social distancing, pengen nabung e..... uang sudah habis untuk beli Brompton, he.Â
Pergi ke bank ketika pandemi tidak lagi menjadi opsi yang menyenangkan bahkan perlu diminimalisir. Sementara kebutuhan masyarakat akan akses perbankan justru sangat dibutuhkan. Dilema semacam ini akan terus kita temui selama masa pandemi belum berakhir.
Bentuk adaptasi bank di masa pandemi
Selama pandemi, pihak bank sendiri melakukan upaya adaptasi terhadap berbagai kebijakan pemerintah berupa pengurangan jam operasional, menutup beberapa kantor cabang sementara, menggunakan interaksi non face to face serta meningkatkan promosi layanan digital.
Saya jadi teringat kalimat Bapak Michel Hamilton, Chief Strategy, Transformation dan Digital Officer dalam webinar Kopiwriting Maybank 21 Oktober lalu, "Kita pengen akses keuangan itu ramah, kita maunya akses keuangan itu mudah dan gampang diakses oleh masyarakat."
Setuju sekali. Terlebih di masa pandemi seperti ini, evolusi digital khususnya di dunia perbankan memang sangat diperlukan. Kita maunya apa-apa bisa diakses dengan mudah dan bisa dilakukan di rumah saja.