Sudah pernah mencoba menghitung total belanja online kita di masa pandemi ini? Saya sendiri belum dan mulai begidik jika membayangkannya.
Ngeri aja.
Pandemi membuat pola hidup masyarakat berubah. Jika sebelum pandemi aktivitas digital adalah sebuah pilihan maka, sekarang sudah berubah menjadi sebuah tuntutan bahkan kebutuhan.
Penerapan social distancing pada masa PSBB, PSBB transisi dan new normal memaksa seseorang untuk beralih kegiatan dari yang dulunya offline menjadi online, mulai dari sekolah, kerja, belanja, hiburan, bahkan pengajian pun online.
Celakannya, aktivitas-aktivitas daring tadi rupanya cukup menguras kantong. Salah satu contohnya adalah pembelian pulsa dan kuota internet yang jumlahnya meningkat dibanding biasanya, kebutuhan akan hiburan seperti langganan TV berbayar serta adanya promo diskon dari berbagai macam toko yang membuat kita tergiur untuk terus berbelanja.
Tak berhenti di situ, di masa pandemi banyak hobi baru juga mulai bermunculan. Ada sepeda, berkebun, hingga masak masakan yang ke semuanya berbau sultan.
Teman-teman pastinya masih merasakan efeknya hingga sekarang, di mana para pesepeda dan penjual tanaman bermunculan baik di timeline maupun di jalanan.
Barisan penjual tanaman terlihat semakin banyak di sepanjang jalan. Sementara di bumi bagian lain, toko sepeda Maju Royal melalui akun official IG-nya mengklaim bahwa permintaan sepeda di masa pandemi ini adalah yang tertinggi di sepanjang sejarah 3 generasi.
Maka jangan ditanya ke mana saja uang-uang kita selama pandemi ini. Bisa jadi lari ke hobi-hobi baru tadi atau bisa pula lari ke hal-hal lain, seperti belanja online yang sebetulnya belum perlu-perlu amat.
Dr. Wisnu Wibowo salah seorang dosen dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis universitas Airlangga melalui kompas.com pernah mengungkapkan bahwa perkembangan aktivitas digital ekonomi memicu timbulnya demonstration effect yaitu kondisi di mana masyarakat terpengaruh secara psikologi karena masyarakat banyak melihat etalase dan transaksi produk dan barang-barang secara luas yang ada di berbagai marketplace ataupun yang sifatnya online shop.
Dari segi positif, aktivitas digital memang membantu masyarakat untuk beradaptasi dengan pola kebiasaan baru namun, kemudahan yang didapat rupanya juga dibarengi dengan tantangan baru berupa peningkatan perilaku konsumtif di tengah masyarakat.
Jika kondisi seperti ini terjadi secara terus menerus tentu mengganggu kondisi personal keuangan baik di masa sekarang maupun di masa yang akan datang. Â Dana yang seharusnya bisa disisihkan untuk tabungan serta investasi tak terasa habis begitu saja entah ke mana.
Rupanya istilah menabung di masa pandemi tidak semudah menyanyikan lagu masa kecil milik Saskia dan Geofanny:
Bing beng bang yok kita ke bank, bang bing bung yok kita nabung
Mau ke bank e.... lagi social distancing, pengen nabung e..... uang sudah habis untuk beli Brompton, he.Â
Pergi ke bank ketika pandemi tidak lagi menjadi opsi yang menyenangkan bahkan perlu diminimalisir. Sementara kebutuhan masyarakat akan akses perbankan justru sangat dibutuhkan. Dilema semacam ini akan terus kita temui selama masa pandemi belum berakhir.
Bentuk adaptasi bank di masa pandemi
Selama pandemi, pihak bank sendiri melakukan upaya adaptasi terhadap berbagai kebijakan pemerintah berupa pengurangan jam operasional, menutup beberapa kantor cabang sementara, menggunakan interaksi non face to face serta meningkatkan promosi layanan digital.
Saya jadi teringat kalimat Bapak Michel Hamilton, Chief Strategy, Transformation dan Digital Officer dalam webinar Kopiwriting Maybank 21 Oktober lalu, "Kita pengen akses keuangan itu ramah, kita maunya akses keuangan itu mudah dan gampang diakses oleh masyarakat."
Setuju sekali. Terlebih di masa pandemi seperti ini, evolusi digital khususnya di dunia perbankan memang sangat diperlukan. Kita maunya apa-apa bisa diakses dengan mudah dan bisa dilakukan di rumah saja.
Salah satu bentuk adaptasi Maybank sendiri terhadap kondisi new normal adalah dengan menyediakan layanan keuangan melalui kanal digital yang bisa diakses di mana pun dan kapan pun dan sekaligus mempromosikan kampanye #DiRumahAja #M2UinAja
Dalam kegiatan yang sama, Bapak Ditto Prabowo selaku Head Digital Banking Product dan Strategy Maybank menjelaskan mengenai manajemen keuangan pribadi yang mencakup kebutuhan-kebutuhan seperti: dana darurat, rumah, proteksi, menikah (bagi yang masih single), pendidikan anak serta dana untuk pensiun yang bisa di kelola hanya dalam satu genggaman.
Siap sangka sih tahun 2020 ini mengajarkan akan pentingnya dana darurat. Terlebih jika melihat banyaknya masyarakat yang terkena imbas langsung dari pandemi seperti PHK karyawan, penurunan omzet usaha, usaha yang gulung tikar hingga urusan dapur yang terancam tak lagi mengebul.
Bapak Ditto juga memberikan gambaran kepada kaum milenial tentang bagaimana caranya agar bisa mempunyai tabungan senilai 1M di usia 65 tahun. Hmm... sangat menggiurkan sekali tentunya.
M2UÂ telah membalikkan pemikiran saya bahwa untuk menstabilkan kondisi keuangan selama pandemi adalah dengan membatasi penggunaan gadget.Â
Faktanya, digital banking justru bisa menjadi solusi pengelolaan keuangan selama masa pandemi bahkan hingga sesudahnya.
Pandemi memerlukan pola adaptasi yang menyeluruh, tidak hanya sekadar aktivitas hidup yang berpindah secara digital saja tapi juga pengelolaan keuangan yang lebih terperinci dan terkendali.
Kita perlu mengalokasikan dana darurat, dana kesehatan, cicilan untuk KPR dan mobil, biaya sekolah anak, zakat sebagai pembersih harta serta dana untuk masa pensiun tanpa mengesampingkan kemudahan akses dan cara pembayaran dari kebutuhan-kebutuhan yang masih berjalan.
Kabar baiknya, seluruh kebutuhan akan pengelolaan keuangan tersebut sudah diakomodir oleh Maybank melalui aplikasi M2UÂ yang selain menawarkan aneka jenis produk keuangan juga menawarkan aneka macam kemudahan pembayaran serta pembelian.
Rasanya seperti memiliki asisten keuangan pribadi yang siap sedia membantu mengelola keuangan serta mengontrol pengeluaran secara pintar dan bijak. Semua itu dapat dilakukan dalam genggaman tangan, di mana pun dan kapan pun.
Ngomong-ngomong sebenarnya tak masalah sih jika ingin membeli tanaman mahal maupun sepeda sultan, asalkan keuangan kita sudah teralokasikan dengan baik.
Pintar dan bijak dalam mengelola keuangan itu perlu, jangan sampai muda foya-foya tapi sengsara di kala senja. Salam hangat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H