Lebaran kali ini terasa berbeda, jika biasanya kami merayakannya di kampung halaman kali ini kami harus merayakan lebaran berdua di tanah perantauan. Untuk saya pribadi sendiri ini menjadi pengalaman pertama berlebaran tanpa keluarga dan kampung halaman.
Pertanyaan apakah akan ada salat Ied sempat menjadi topik perbincangan warga beberapa hari sebelumnya. Beberapa tetangga saya berpendapat lebih baik salat Ied di rumah saja tapi beberapa yang lain tetap ingin salat Ied dilaksanakan seperti biasa. Katanya, aneh rasanya jika harus lebaran tapi tidak salat Ied di masjid.
Mushola di daerah kami sendiri mengumumkan lewat pengeras suara bahwa salat Ied tetap dilaksanakan dengan beberapa syarat; jarak antar jamaan lebih renggang, tidak boleh bersalam -- salaman serta setiap jamaah di wajibkan memakai masker.
Beberapa warga mematuhi himbauan tersebut dengan salat di mushola sementara saya dan beberapa warga yang lain memilih untuk salat Ied di rumah.
Pengalaman tidak mengikuti salat Ied di masjid bagi perempuan bukanlah barang baru, hampir setiap perempuan pernah mengalaminya. Hal tersebut terkait berkah lebih yang diterima oleh para perempuan setiap bulan. Tapi, salat Ied di rumah dan diimami suami sendiri sudah pasti menjadi pengalaman pertama seumur hidup yang tak terlupakan.
Jika di lebaran-lebaran sebelumnya seusai salat Ied kami melakukan sungkem dengan anggota keluarga, kali ini acara sungkem hanya dilakukan dengan suami saja. Setelahnya, kami tetap silaturahmi ke tetangga-tetangga terdekat dengan menggunakan masker dan tetap mematuhi physical distancing dengan tidak bersalam-salaman.
Meski tanpa berjabat tangan tapi makna saling memaafkan diterima dengan baik oleh warga. Semua orang saling mengerti dan memaklumi keadaan. Beberapa warga membawa handsanitizer sementara saya dan suami cukup mencuci tangan setelah kembali masuk rumah.
Beberapa rumah warga juga menyediakan keran air di depan rumah untuk mencuci tangan sementara kami tidak. Kami berpikir, Â jika di bandingkan dengan warga yang lain kami termasuk pasangan muda sehingga menurut adat akan jarang dikunjungi dan lebih sering berkunjung. Dan benar rupanya, kue-kue lebaran kami masih utuh sampai dengan sekarang. Duh.
Bagi warga kami, silaturahmi kali ini penting untuk menepis kesalahpahaman yang terjadi beberapa waktu sebelumnya. Aneka kabar kabur serta saling tuduh soal Covid 19 sempat menjadikan kisruh di lingkungan kami. Banyak pertengkaran, silat lidah dan amarah yang  terjadi di antara warga. Sampai-sampai sebanyak 25 orang dari kami harus mengikuti test rapid untuk meredam isu-isu negatif.
Dengan bersilaturahmi, kondisi serta ketegangan antara warga menjadi berkurang. Semua salah serta khilaf otomatis termaafkan.
Seusai berkunjung ke tetangga terdekat, kami pulang ke rumah masing-masing untuk berkomunikasi dengan keluarga dan saudara via online. Haru rasanya, terlebih ketika saya melihat ibu menangis. Meski ada tangis tapi kami berhasil menutup komunikasi dengan tawa bahagia.
Meski serba terbatas tapi setidaknya kami masih bisa melihat wajah keluarga serta tahu mereka sehat walafiat. Memang banyak hal lupa disyukuri di lebaran kali ini salah satunya yaitu kesehatan dan keselamatan.
Kami juga bersyukur karena di lebaran ini tak ada pertanyaan-pertanyaan sakti seperti "kapan punya momongan?" kami bilang sakti karena kami sendiri tak tahu jawabannya dan hanya bisa dijawab oleh Tuhan YME.
Lebaran di tengah pandemi berlangsung lebih cepat, orang keliling hanya sampai di teras rumah saja sehingga tak ada kegiatan makan opor maupun mencicip nastar tetangga. Kami hanya menyampaikan poin-poin penting dalam beberapa kalimat saja sehingga pertanyaan-pertanyaan basa-basi seperti tadi tidak mendapat cukup porsi.
Belum setengah hari kegiatan utama meminta maaf baik langsung maupun via online sudah selesai di lakukan. Sisanya kami kembali rebahan sembari sesekali memantau dan beraktivitas di sosial media.
Lebih simpel dan tidak capek lebih tepatnya. Jika berlebaran di kampung acara non stop hingga malam maka lebaran kali ini terasa lebih santai. "Lumayan juga ya Mas lebaran di perantauan, nggak capek!" ujar saya ke suami.
Duh, jadi takut ketagihan! Jangan deh, kalau bisa biar capek bagaimanapun tetap kami ingin berlebaran di kampung halaman dengan orang tua dan sanak keluarga.
Begitulah pengalaman saya lebaran pertama di perantauan. Ada duka tapi juga ada sukanya. Pengalaman ini tentu sangat berkesan dan belum tentu bisa terulang (duh, pandeminya jangan sampai terulang, deh!)
Akhir kata saya ingin mengucapkan minal aidin wal faidzin, mohon maaf lahir dan batin kepada teman-teman kompasioner semuanya. Â Semoga lebaran kali ini menjadi ladang pahala yang luas bagi kita semua. Salam.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI