Kita adalah penghianat terindah, berlindung di balik keegoisan diri tanpa peduli dengan nasib orang lain, saudara kita sendiri.
Kita tidak hidup di balik APD, masih bernapas seperti biasa, masih kencing dengan sebebas-bebasnya, dan masih bisa rebahan bebas 24 jam. Di tengah keleluasaan ini, bagaimana bisa kita tidak memberikan sedikit rasa simpati kepada para pejuang medis. Bagaimana bisa kalian yang katanya saudara sebangsa dan setanah air tidak peduli dengan kondisi dan nyawa saudara kalian sendiri?
Bukankah keegoisan kita ini menghianati usaha-usaha yang sudah kita susun bersama? Para pengumpul donasi, para pemberi bantuan sembako, para relawan yang menyerahkan diri, para petugas yang masih harus bertugas di tengah pandemi, perusahaan yang meliburkan karyawan, orang-orang yang menahan diri di rumah yang mana kehadiran mereka agar kita tidak merasakan beban ini sendirian.
Tapi sudahlah, jika nyawa yang berjatuhan saja tak mampu membuat Indonesia begidik, bagaimana mungkin saya berharap banyak dari rangkaian kata ini. Saya hanya ingin bilang :
"owh, jadi begini rasanya patah hati dan dikhianati!"Â
Lalu bagaimana bisa kita merayakan Hari Kebangkitan Nasional di tengah hilangnya rasa empati dan kemunduran pola pikir?
Saya tahu kita semua sudah mulai lelah berada di rumah tapi bukan berarti kita harus menyerah. Saya belum menyerah, saya masih di rumah dan belum kalah! Jika saya menyerah, akan semakin banyak orang di luar sana yang juga menyerah dan meyebabkan semakin meluasnya tagar "Indonesia Terserah."
Huft..
Satu-satunya hal yang membahagiakan di tengah patah hati ini adalah, lebaran hadir sebentar lagi. Meski dengan kondisi yang tak sempurna, tapi masih tersisa waktu bagi kita untuk kembali berpikir. Apakah kita berlebaran hanya untuk diri sendiri ataukah juga untuk negeri ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H