Hari kebangkitan nasional tahun ini diwarnai kekecewaan. Bagaimana tidak, saat di mana kita seharusnya memaknai Harkitnas sebagai tonggak kebangkitan pribumi melawan penjajahan Belanda dengan memupuk semangat persatuan, kesatuan dan nasionalisme, malah justru dinodai dengan peristiwa "Indonesia Terserah".
Bukan masalah kita merayakan Hari Kebangkitan Nasional di tengah pandemi karena jaman dulu para pendahulu kita juga harus bertahan di era kolonialisme Belanda. Tapi bedanya, jika jaman dulu kesadaran rakyat mulai bangkit dan membentuk serangkaian aksi yang ditandai dengan berdirinya organisasi pertama yaitu Budi Utomo, kini masyarakat justru membentuk serangkaian aksi melanggar anjuran physical distancing dan memenangkan egoisme masing-masing.
Sekadar mengingatkan, kita masih di tengah masa pandemi. Bahkan 3 hari lalu saya masih menjalani rapid test akibat salah seorang tetangga yang dinyatakan positif Covid -19. Bukan itu saja, banyak para perantau sudah rela membesarkan hatinya untuk tidak berlebaran di kampung halaman. Para tenaga medis masih berjuang di garda akhir.
Kita tentu tidak lupa sudah berapa nyawa gugur melawan virus bandel satu ini, masih hangat juga berita mengenai berpulangnya salah seorang tenaga medis Ari Puspita Sari yang terkena covid 19 dengan janin berusia 4 bulan di rahimnya. Belum lagi orang-orang yang terkena imbas dari physical distancing, para karyawan yang terkena PHK, para pengusaha yang merugi, anak-anak yang kehilangan kelasnya, masjid yang kehilangan jamaahnya. Tidak ada satu orang pun yang bahagia di masa ini termasuk para penimbun masker yang terkena zonk (kalau yang ini syukurin!)
Duka ini kita rasakan bersama.
Pandemi ini belum selesai kawan, butuh kesadaran dari kita semua baik pemerintah maupun warga sebagai garda terdepan dalam upaya pencegahan covid 19 agar kerja tim medis juga tidak semakin berat.
Bagaimana saya tidak patah hati, di tengah puasa tarawih, puasa jualan, puasa mudik yang kita semua jalani, di luar sana orang bersedak-desakan untuk menyaksikan ditutupnya McD Sarinah, berdesak-desakan masuk ke mall untuk baju lebaran dan bahkan berdesak-desakan di bandara Soetta.
Saya pikir saya tidak sebaiknya bersedih karena tidah hanya saya yang tidak bisa mudik, tapi nyatanya saya salah. Di luar, surat bebas Covid 19 di jual bebas layaknya surat ijin masuk kerja. Alih-alih bicara kesatuan dan nasionalisme, banyak orang egois tetap ingin mudik hanya karena tidak ingin berlebaran di perantauan.
Tidak hanya kalian yang rindu dengan Bapak dan Ibu, tidak hanya kalian yang harus lebaran sendiri di perantauan, tidak hanya kalian yang ingin bertemu saudara dan teman-teman, saya juga. Tapi apa keegoisan bisa menyelesaikan ini semua?
"Indonesia Terserah" yang digaung-gaungkan kalangan medis adalah bukti patah hati terhadap sikap dan kekeraskepalaan orang-orang yang masih tidak mengindahkan physical distancing dan semau-maunya sendiri.Â
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!