Mohon tunggu...
Ire Rosana Ullail
Ire Rosana Ullail Mohon Tunggu... Blogger - irero

Content Writer | Sosial Budaya | Travel | Humaniora | Lifestyle | Bisnis | Sastra | Book Sniffer | Bibliophile | Bibliomania | Tsundoku | email : irerosana@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

"Mohon Maaf Pak Buk, Tahun Ini Kami Tak Bisa Sungkem"

27 April 2020   11:00 Diperbarui: 27 April 2020   10:53 700
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : unsplash.com

"Berbaktilah pada orang tua selagi mereka ada. Karena saat mereka tiada, sungguh, hanya sesal yang ada. ((Mudah-mudahan) Bukan Ramadhan Terakhir, Rima RL)"
Salah satu quote panutan menulis saya Mb Dian Nafi

Salah satu hal yang pasti hilang ketika mudik itu dilarang adalah sungkeman. Di Indonesia khususnya di Jawa, tradisi rutin ketika lebaran adalah maaf-maafan, hal tersebut dilakukan dengan cara sungkem atau bersimpuh dihadapan ke dua orang tua, mencium ke dua tangannya dan memohon maaf atas segala kekhilafan yang pernah di lakukan.

Rasanya itulah puncak bakti seorang anak, pulang dan tunduk di hadapan orangtuanya. Seperti yang kita tahu, kasih sayang anak terhadap orang tua tak akan pernah bisa menyaingi kasih sayang orang tua kepada anaknya. 

Sungkeman hanyalah bentuk rasa terima kasih, rasa syukur dan kasih sayang yang juga membuat orang tua lega meski itu tak mampu mengganti kasih sayang dan doa yang selalu mereka panjatkan untuk kita.  

Selain permintaan maaf, sungkem juga upaya memohon doa serta restu dari ke dua orang tua. Minta jodoh bagi yang jomblo, minta pekerjaan bagi yang nganggur dan lain sebagainya.

Seperti halnya di keluarga saya. Selepas salat Id dan sebelum mencicipi hidangan lebaran, kami rutin melakukan sungkeman. Di sinilah puncak tangis lebaran akan pecah, entah karena rasa rindu karena yang jarang bertemu ataukah perasaan bersalah karena saking banyaknya dosa.

Seusai sungkeman, biasanya Bapak memberikan sedikit wejangan, tentang hidup, tentang agama dan tentang salat. Jangan pernah meninggalkan salat, itulah yang paling beliau tekankan kepada anak-anaknya.

Tanpa mengurangi rasa hormat kepada orang tua kita, mohon maaf tapi sepertinya aksi sungkeman tahun ini harus diganti dengan video call dan telefon. Meski kita akan mengucapkan kalimat yang sama dengan tangis yang sama tapi rasanya pasti berbeda.

Rasa rindu, bersalah dan sayang kepada orang tua memang lebih dalam dan berasa ketika dilakukan dengan bersimbuh, menundukkan kepala dan menyentuh tangan dan memeluk mereka.

Lebaran tahun ini tentu akan terasa berbeda. Rasanya pasti ada yang kurang, tak terkecuali bagi kami yang biasa berkumpul dan melakukan sungkeman. Larangan mudik sudah digaung-gaungkan jauh-jauh hari. Kami pun hanya bisa menurut sembari sesekali berdoa agar pandemi ini segera selesai dan kami bisa mudik.

"Maaf ya Pak, Buk, tahun ini sepertinya belum bisa berkumpul bersama." Kata saya dari ujung telefon.

"Ora popo, mengko tak aku sek mrono," Tidak apa-apa, biar nanti kami yang ke sana, kata Ibu santai.

Haduh. Jangan Buk, Pak, kami tak bisa pulang karena pandemi jadi Bapak Ibu tak seharusnya juga kemari. Ada-ada saja ibu ini.

Memang di daerah Ibu saya orang menghadapi pandemi dengan santai. Ibu saya belum paham kalau di Jakarta kondisi sudah parah, tidak seperti di kampung yang masih pada riwa riwi. Beruntunglah setelah saya jelaskan puaanjang lebar akhirnya Ibu bisa mengerti.

Saya bilang, kami tidak pulang demi keamanan bersama, agar orang di kampung sehat dan kami pun begitu. Tak lupa saya sisipkan pesan untuk selalu mencuci tangan dan menghindari kerumunan.

"Seorang bapak tidak pernah menagih,
hanya menanti dengan sangat kecewa."
Pak Tri

Salah satu hal yang menggembirakan orang tua adalah menunggu anak-anaknya mengetuk pintu rumah. Pulang. Terlebih bagi mereka yang putra putrinya pergi merantau, entah karena menimba ilmu, bekerja, atau berumah tangga. Lebaran adalah momen terindah yang selalu dinantikan orang tua, karena bisa dipastikan semua anaknya pulang untuk berkumpul bersama.

Ibu selalu berantusias ketika mendengar saya akan pulang. Ia akan mengeluarkan dan merelakan tabungan hajinya untuk membeli bahan makanan kesukaan saya. 

Ia akan bersih-bersih rumah, menata seprei di kamar lama saya dengan penuh antusias. Tak lupa, layaknya ibu-ibu yang lain ia akan dengan riang berkata ke tetangga-tetangga bahwa anaknya sebentar lagi pulang.

"Maaf Bu, Pak, tapi lebaran tahun ini anakmu tak bisa pulang ke rumah."

Di masa tua, tak ada lagi hal yang diinginkan orang tua kecuali berkumpul dengan anak-anaknya. Kalaupun si anak tak bisa pulang, orang tua akan berkata, "tidak apa-apa Nak," meski dalam hati mereka menangis, betapa usia telah merenggut hal-hal kecil yang dulu mereka miliki.

Saya sendiri menyesal karena selama ini banyak menyianyiakan waktu untuk bertemu orang tua. "Ah, nanti saja pulangnya sekalian lebaran". "Ah, lewat video call saja kan bisa." Dan ketika kesempatan lebaran itu direnggut, yang tersisa hanya sekumpulan penyesalan-penyesalan.

Saya hanya berharap, Bapak dan Ibu sehat di sana. Saya berharap masih diberi kesempatan oleh Tuhan untuk bertemu, memeluk dan bersimpuh di hadapan Bapak dan Ibu. Dan saya harap masih bisa dipertemukan dengan ramadan tahun depan, untuk menebus apa-apa yang kurang di ramadan tahun ini, untuk bisa mudik dan berkumpul dengan keluarga ketika lebaran.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun