Mohon tunggu...
Ire Rosana Ullail
Ire Rosana Ullail Mohon Tunggu... Administrasi - irero

Sedang mencari celah waktu untuk membaca buku | email : irerosana@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Corona yang Semakin Meluas dan Barisan Masyarakat yang Keras Kepala

16 Maret 2020   08:48 Diperbarui: 16 Maret 2020   09:00 361
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

COVID- 19 benar sudah merebut perhatian media berita kita. Hampir setiap hari setiap stasiun TV dan koran digital mengeluarkan berita terkait virus COVID- 19 alias si corona.

Lucunya, masyarakat di sekitar tempat tinggal saya baik Jakarta maupun Depok, masih santai-santai saja. Tak ada yang membicarakan, tak ada yang memakai masker pula tak ada tanda-tanda pencegahan yang dilakukan.

Bahkan setelah Jokowi mengumumkan untuk pertama kalinya bahwa ada 2 WNI yang tinggal di Indonesia terjangkit corona  dan keduanya adalah warga Depok pada 2 Maret lalu, masyarakat Depok masih terlihat biasa saja, sebatas ya sudah tahu saja.

Sehari setelahnya, saya pergi ke salah satu Lab dan lanjut ke mall, memang terlihat beberapa muda mudi memakai masker, tapi lebih banyak yang tidak. Sementara di sisi lain seluruh stasiun TV memberitakan perkembangan dan panic buying di beberapa tempat pasca deklarasi. Saya jadi merasa tinggal di 2 planet yang berbeda ketika keluar rumah dengan ketika menonton TV.

Data terbaru kompas.com menyebut jumlah korban terinveksi sampai dengan kemarin (15/3) adalah sebanyak 117 korban dengan jumlah korban meninggal sebanyak 5 orang. Terjadi peningkatan tajam sedari diumumkan 2 minggu sebelumnya. 

Jokowi sendiri sudah memberi himbauan agar warga sementara ini melakukan aktivitas seperti belajar, bekerja dan beribadah di rumah. Beberapa daerah juga telah mengambil langkah pencegahan sebagaimana dengan detail sebagai berikut klik. 

kepanikan yang terjadi rupanya tidak merata masuk ke telinga setiap orang. Minggu pagi kemarin misalnya, saya ke pasar pagi dadakan di daerah Depok. Dari banyaknya orang lalu lalang, hanya beberapa gelintir pemudi yang memakai masker, selebihnya tidak. 

Kondisi semacam itu menimbulkan rasa tidak enak bagi saya yang memakai masker. Seorang pria menolah dan berkata "owh, korona" setelah melihat saya, lalu kembali asyik menyantap ketupat sayur miliknya. 

Celetuk seperti "kamu nggak pakek masker?" oleh seorang pria kepada temannya dengan nada mengejek pernah juga saya dengar ketika tengah berobat di suatu klinik. Tentulah orang tersebut mengejek karena si pria itu sendiri tidak pakai masker. 

Misal kita menolak tetangga atau teman yang mengajak bepergian karena ingin mengisolasi diri nantinya malah diolok-olok, dibilangnya kita berlebihan. 

Belum lagi soal salam-salaman. Meski Ridwan Kamil sudah menghimbau untuk menghindari salaman, cipika cipiki dan menggantinya dengan posisi seperti "maaf lahir batin" namun hal itu sedikit sulit diterapkan kepada keluarga. Misal seorang anak yg kerap mencium tangan kedua orang tuanya, paman, bibi, kakek nenek dan orang yang lebih tua dan dihormati. 

Jika pemahaman akan kepedulian pencegahan dari anggota keluarga kurang maka proses pencegahan akan semakin sulit. Tindakan kita yang menolak untuk bersalaman dan mencium tangan akan dianggap lebay dan kurang sopan.

Ketidakpedulian masyarakat semacam itu menimbulkan keengganan bagi siapa saja yang ingin melakukan pencegahan. Orang yang ingin melakukan pencegahan malah jadi tidak nyaman, tidak enak, dipandang berbeda atau bahkan disepelekan.

Ada sikap yang mulai saya hapal dari masyarakat kita. Bahwa kecemasan akan suatu bencana atau wabah itu datang pada radius yang sangat dekat. Jika bukan sebelah rumah sendiri yang mengalami, maka orang merasa bencana masih jauh. Namun jika sudah kejadian ada yang meninggal, orang dengan mudah akan berkata  "itu takdir."

Soal takdir Tuhan memang sering dipakai untuk menjawab berbagai persoalan di masyarakat kita. Hal itu pulalah yang menambah sulitnya kesadaran masyarakat untuk melakukan upaya pencegahan. 

Bahkan keluarga saya sendiri menjawab "lillahi ta'ala aja"" artinya kita serahkan semua kepada Allah saja. 

Tentu saya tidak keberatan dengan anggapan seperti itu, tapi maksud saya adalah kita tetap berserah diri kepada Allah sembari tetap melakukan upaya pencegahan. Setelah berusaha barulah berserah diri. Gitu lho. 

Saya tidak ingin memperpanjang terkait urusan dengan takdir dan Tuhan karena itu ranah Tuhan, tapi sebagai manusia bukankah kita dibekali akal dan ilmu untuk menghadapi setiap persoalan hidup?

Kita sebaiknya mulai berpikir bahwa mungkin saja sikap keras kepala kita ini tidak hanya berpotensi untuk merugikan diri sendiri tapi juga orang lain. 

Sampai di sini kita sadar bahwa untuk bebas dari corona diperlukan kerjasama dengan orang lain. Kita juga sadar bahwa apapun tindakan kita bisa jadi berpengaruh terhadap orang lain. 

Atau jangan-jangan, semakin menyebarnya firus ini juga dipengaruhi oleh sikap masyarakat yang acuh tak acuh dan malas melakukan pencegahan?

Cemas yang berlebihan memang tidak membantu, tapi sikap santai dan kurang aware bisa jadi jalan merebaknya virus menjadi semakin luas. Kewaspadaan dan kesadaran diri sangat diperlukan untuk mencegah penyebaran yang semakin luas.

Salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun