Mohon tunggu...
Ire Rosana Ullail
Ire Rosana Ullail Mohon Tunggu... Administrasi - irero

Sedang mencari celah waktu untuk membaca buku | email : irerosana@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Masihkah Ada yang Menonton TVRI di Masa Ini?

24 Januari 2020   15:28 Diperbarui: 24 Januari 2020   18:35 769
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : kompas.com

Kasus pencopotan Helmy Yahya sebagai Dirut utama TVRI masih hangat diperdebatkan oleh masyarakat. Alasan pemecatan yang dikemukakan oleh Dewan Pengawas TVRI Arief Hidayat adalah banyaknya program asing berbiaya tinggi seperti siaran Liga Inggris dan Discovery Channel yang dianggap tidak sesuai dengan jati diri bangsa.

Arief juga menyebutkan bahwa tugas pokok dan fungsi TVRI sesuai visi dan misi adalah televisi publik. Menurutnya, yang paling utama adalah edukasi, jati diri dan media pemersatu bangsa. Paska pernyataan tersebut, kini publik beramai-ramai menafsirkan kata "jati diri bangsa" yang di maksud Arief.

Sebelumnya, Helmy Yahya sendiri ditetapkan sebagai Direktur Utama TVRI pada 29 November 2017 lalu oleh Dewan Pengawas Lembaga Penyiaran Publik TVRI. Seharusnya ia menjabat hingga 2022 nanti, namun dihentikan oleh dewan pengawas dengan alasan yang telah disebutkan.

Di luar adu pendapat orang-orang hebat di balik TVRI saya justru tertarik untuk tahu, kapan terakhir kali orang menonton TVRI? Atau seberapa sering mereka menonton TVRI ketimbang TV lain?

Dalam kacamata sempit, yang menjadi pesaing TVRI adalah TV - TV swasta nasional, sementara secara luas pesaing TVRI mencangkup apa saja yang membuat orang lebih memilih media lain ketimbang menonton acara di TVRI. Dalam hal ini platform semacam youtube serta keberadaan media berita online termasuk dalam kategori pesaing berat.

Dulu ketika saya masih SD, televisi disebut-sebut sebagai candu yang berbahaya bagi anak. Pasalnya anak kalau sudah menonton TV bisa lupa waktu dan malas belajar. Yah, kala itu memang hanya TV hiburan yang dianggap paling menarik selain daripada dolanan tradisional.

Kini, gelar itu telah direbut oleh gadget. Gadget sekarang ini menjadi candu utama, tidak hanya bagi anak-anak sekolah, orang dewasa namun juga balita. Ibu-ibu sering menyuguhkan gadget kepada balitanya agar berhenti menangis, tidak rewel, sehingga mereka bisa menyelesaikan pekerjaan rumah. 

Jika anak jadul menghabiskan waktunya untuk menonton televisi maka, anak jaman now menghabiskan seluruh waktunya untuk bermain gadget.

Kondisi TVRI jadi semakin berat dalam hal berebut perhatian penonton . Selain bersaing dengan TV nasional, TVRI juga harus bersaing dengan media baru yang secara konten lebih menggiurkan dan mudah diakses melalui gadget. Melihat kondisi ini, pernyataan dewan pengawas TVRI seolah tidak mengindahkan realita dan hanya berdiri di pelataran zona aman.

Sebuah media memang harus memiliki visi, misi dan idealisme, karena itu menjadi salah satu tolok ukur kualitas tayangan media kita. Namun, semua itu menjadi percuma bila tak ada orang menonton tayangannya. Kesan yang akan timbul adalah sekadar pengguguran tugas dan kewajiban saja. Yang penting sudah sesuai visi misi, yang penting sudah menayangkan.

Sayangnya kondisi kritis ini hanya ditangkap oleh media swasta. Maklum saja, media swasta sangat membutuhkan rating demi keberlangsungan hidup perusahaan sementara TVRI sudah dapat anggaran tanpa perlu terlalu ngos-ngosan.

Di sinilah peran TVRI seharusnya tidak terhenti hanya pada tahap memberikan tayangan yang dianggap sebagai jati diri bangsa semata namun tayangan tersebut harusnya diterima dan memiliki daya pikat untuk menarik perhatian penonton.

Ibarat produksi film, selain dari membuat sebuah film berkualitas dan original, upaya promosi agar masyarakat mau ke bioskop untuk menontonnya juga perlu. Karena film berkualitas tanpa penonton akan sia-sia.

Helmy Yahya dalam pandangan saya hanya berupaya untuk menarik minat penonton kembali ke TVRI. Contoh saja tayangan liga asing. Penelitian Nielsen Sport menyebut  Indonesia sebagai negara penggila sepak bola nomor dua di dunia. Ceruk pasar yang besar dan tentunya sayang untuk dilewatkan.

Tak heran pula jika kita mengecek google trends maka isu-isu sepak bola masih mendominasi urutan atas.  Dengan menayangkan liga asing, maka mau tak mau peminat bola akan berbondong-bondong menonton TVRI untuk menyaksikan klub mereka bermain.

TVRI sedang digiring untuk menjadi media millennials agar layak diperhitungkan dalam list wajib tonton milik anak jaman now. Salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan menyuguhkan apa yang diminati masyarakat sekarang. Akan tetapi, tantangannya, semua itu harus dilakukan tanpa membuang identitas dan visi misi TVRI sebagai media pemersatu bangsa.

Ketika dewan pengawas memutuskan untuk mencopot dan tidak menggunakan lagi jasa Helmy Yahya, itu artinya mereka memerlukan Dirut baru dengan kemampuan yang jauh lebih baik dan bisa mengakomodir seluruh kebutuhan TVRI jaman ini. Tugas yang berat tentunya, terlebih Dirut yang baru nantinya akan selalu dibanding-bandingkan dan dikait-kaitkan dengan pemberhentian Helmy.

Referensi ; 1, 2

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun