Malam tahun baru bertabur hujan dan petasan. Azan subuh berkumandang seiring deru air yang mulai menyusup melalui pintu dan celah rumah. Semakin lama, semakin naik. Orang-orang mulai panik mengamankan barang-barang. Yang tadinya di bawah, dipindah ke atas kursi, yang di atas kursi dipindah lagi ke atas almari. Saya tak menyangka, hari pertama tahun 2020 akan dibumbui dengan banjir besar.
Tepat 5 tahun lalu, saya kerap mendengar kabar dari berbagai media mengenai banjir Jakarta. Siapa sangka setelah pindah ke ibu kota, hari ini, saya pun mengalaminya.Â
Jika biasanya jumlah air hanya menutup permukaan jalan depan rumah, kini air sampai menyusup masuk ke rumah-rumah. Ada yang setinggi lutut, paha, bahkan perut orang dewasa. Beberapa tetangga sudah mengungsi ke masjid, sementara saya sekeluarga memilih mengamankan diri ke lantai 2.
Banjir kali ini benar-benar pengalaman pertama, secara, saya pindahan dari daerah gunung di Ungaran, Semarang, di sana tak pernah ada banjir. Jikalau sampai banjir, sudah tenggelamlah kota Semarang dan sekitarnya.
Namun, saya perhatikan orang-orang di sini sudah sangat tanggap sekali, sepertinya banjir sudah menjadi santapan biasa bagi mereka. Bahkan para remaja masih tetap asyik bermain air bersama.Â
Tapi, banjir ini mengubah persepsi saya. Yang dulunya hanya melihat melalui televisi dan sering berkomentar, "Mengapa para korban tak segera mengungsi, mengapa masih banyak yang bertahan di rumah, dan pikiran-pikran jahat lain", Kini pun saya mulai mengerti semuanya.
Warga tentunya tak bisa memprediksi seberapa banyak air yang akan datang sehingga tidak mungkin mengungsi sejak dini. Orang secara spontan akan berpikir untuk mengamankan barang yang ada di bawah sementara air masih terus naik.Â
Warga yang memiliki rumah 2 lantai akan mengungsi ke lantai 2 sementara yang tidak punya akan mengungsi ke tempat yang lebih aman setelah mengamankan barang-barang dari jangkauan air.
Pukul 10.18 WIB, air masih setinggi perut orang dewasa. Dalam kondisi terendam air selama berjam-jam, warga tidak memiliki akses WC dan air bersih. Karena seluruh jalan terendam air, sehingga menyebabkan warga kesusahan untuk membeli makanan ke luar dari wilayah banjir.Â
Beberapa saat lalu, listrik pun mulai dipadamkan, seluruh peralatan elektronik tidak bisa digunakan, sehingga penggunaan handphone dan laptop digunakan seperlunya.Â
Rupanya bertahan di tengah banjir itu tidak mudah, tidak semudah berkomentar seperti ketika saya melihatnya di berbagai media beberapa tahun lalu.Â
Terlebih bagi orang baru seperti saya, masih kaku ketika menghadapinya. Belum lagi soal air bawaan banjir Jakarta yang sangat keruh dan membawa banyak sampah, tentunya rawan penyakit.
Tapi selalu ada hikmah di balik segala musibah. Saya bersyukur pernah menjadi bagian dari banjir ini, bisa merasakan bagaimana posisi menjadi korban banjir.Â
Saya pun mulai berpikir untuk lebih peduli dan mulai menjaga lingkungan sekitar, merasa lebih empati kepada para korban-korban banjir yang lain.
Awal tahun 2020 dibuka dengan pelajaran yang begitu besar dan berharga. Semoga itu bisa digunakan untuk bekal dalam menghadapi satu tahun ke depan dan seterusnya dan seterusnya.Â
Semoga banjir segera surut dan teman-teman di daerah lain aman dan selamat. Selamat tahun baru 2020, semoga kita menjadi pribadi yang lebih baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H